Saya pernah menunjukkan sebuah Teko dan menanyakan kepada sekelompok mahasiswa: "Siapa yang tahu, apa isi Teko ini?". Beberapa mencoba menebak teh, kopi, air, malah ada yg menebak kosong. Sy lanjutkan pertanyaan: "Bagaimana cara tahu isi Teko ini?". Mereka sepakat menjawab dengan menuangkan isi Teko. Nah ! saya menegaskan: Kalau apa yang dituangkan Teko menunjukkan isinya, maka demikian juga apa yang dikatakan oleh seseorang, apa yang mereka tulis juga adalah cermin isi pikiran dan hatinya.
Pertanyaan kedua: "Andai isi Teko itu adalah Kopi, bgm cara tahu kalau Kopi ini enak atau tidak?". Yah, mahasiswa banyak yang berpendapat dengan cara mencicipi atau meminumnya. Kalau Kopinya berkualitas pasti terasa nikmat.
Sy tegaskan: kalau nikmatnya kopi dirasakan dengan lidah, makanya enaknya sebuah omongan dirasakan dengan hati. Bila pernyataan itu berkualitas, maka akan membuat hati menjadi nyaman, baik untuk masa kini atau yang akan datang.
Kamis, 30 April 2015
Selasa, 24 Februari 2015
Urip Koyo Mung Mampir Ngombe (Hidup Seperti Mampir Untuk Minum Semata)
"1 HARI DI AKHIRAT SAMA DENGAN 1000 TAHUN DI DUNIA !!!"
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :
وَإِنَّ يَوْمًا عِنْدَ رَبِّكَ كَأَلْفِ سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّونَ
Artinya:
Sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitungan kamu.(QS. Al Hajj: 47)
Atau dalam Firman-Nya yang lain:
Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya seribu tahun menurut perhitunganmu. (QS. As-Sajadah :5)
Mari kita hitung secara sederhana:
1 hari = 1.000 tahun
24 jam = 1.000 tahun
Kalau umur menurut Nabi Muhammad 63 tahun saja maka (63/1.000) x 24 = 1,512 (dibulatkan 1,5 jam).
Jadi......umur yang 63 tahun sebenarnya hanya 1,5 jam dalam pandangan Tuhan, seperti orang mampir ngopi aja.
Lihatlah orang mimpi, kalau ia mimpi yang tidak nyaman saat bangun ia bersyukur karena dalam kehidupan nyatanya ia lebih nyaman dari mimpinya. Tapi kalau ia mimpi nyaman, maka saat bangun ia kecewa karena ternyata cuma mimpi yang sebentar. So.....bila waktu di dunia ini anda lebih banyak berfoya-foya daripada beribadah, maka saat terbangun dari alam kubur seperti bangun dari mimpi, ternyata hidup yang haikiki adalah hidup setelah mati.
Sabtu, 21 Februari 2015
Tuhan itu Maha Baik
Mintalah, maka Tuhan Pasti akan Mengabulkan......
Seorang Ayah mempunyai anak masih duduk di bangku SMA.
I- Saat anaknya meminta dibelikan Ballpoint untuk kepentingan sekolah, Ayahnya langsung membelikan
II- Saat anaknya minta melanjutkan kuliah ke kota X, Ayahnya menolak tapi memberinya alternatif ke kota Y
III- Saat anaknya meminta menikah, Ayahnya tidak mengabulkan tetapi mempertimbangkan nanti setelah ia bekerja
Ayahnya tidak selalu memberikan permintaan anaknya tetapi selalu mengabulkan apa yang dimaksudkan dengan caranya:
- Saat sang anak meminta ballpoint, segera dikabulkan saat itu juga karena itu hal penting dalam aktivitasnya sebagai pelajar.
- Saat sang anak meminta melanjutkan kuliah ke kota X, Ayahnya mengabulkan dalam bentuk lain, yaitu mengabulkan ke kota Y, karena Ayahnya paham bahwa kota X lingkungannya kurang baik, banyak kasus narkoba, free sex dan kasus-kasus non-akademis yang akan mempengaruhi lingkungan belajarnya kelak.
- Saat sang anak meminta menikah, Ayahnya akan mengabulkan pada saatnya nanti dia sudah cukup siap secara lahir batin, hanya menunda waktu.
Mungkin dihadapan anak, Ayahnya adalah seorang yang tidak bisa memenuhi segala keinginannya, tidak menunjukkan rasa kasih sayang, tidak pandai menyenangkan anak. Bagi Ayah, semua permintaan anaknya sebenarnya baik, tetapi kadang didasari oleh emosi semata, hawa nafsu untuk mencapai kesenangan. Ayahnya berusaha memenuhi MAKSUD permohonan anaknya, tetapi bukan mengabulkan SESUAI apa yang diminta anaknya, karena Ayahnya mempertimbangkan kebaikan dan keselamatannya.
Permintaan ada yang dikabulkan, ada yang dialihkan, dan ada yang ditunda sampai waktu yang tepat. Demikian juga dengan Doa
Begitu kira-kira analog tentang kejadian permintaan kita di hadapan Tuhan
Seorang Ayah mempunyai anak masih duduk di bangku SMA.
I- Saat anaknya meminta dibelikan Ballpoint untuk kepentingan sekolah, Ayahnya langsung membelikan
II- Saat anaknya minta melanjutkan kuliah ke kota X, Ayahnya menolak tapi memberinya alternatif ke kota Y
III- Saat anaknya meminta menikah, Ayahnya tidak mengabulkan tetapi mempertimbangkan nanti setelah ia bekerja
Ayahnya tidak selalu memberikan permintaan anaknya tetapi selalu mengabulkan apa yang dimaksudkan dengan caranya:
- Saat sang anak meminta ballpoint, segera dikabulkan saat itu juga karena itu hal penting dalam aktivitasnya sebagai pelajar.
- Saat sang anak meminta melanjutkan kuliah ke kota X, Ayahnya mengabulkan dalam bentuk lain, yaitu mengabulkan ke kota Y, karena Ayahnya paham bahwa kota X lingkungannya kurang baik, banyak kasus narkoba, free sex dan kasus-kasus non-akademis yang akan mempengaruhi lingkungan belajarnya kelak.
- Saat sang anak meminta menikah, Ayahnya akan mengabulkan pada saatnya nanti dia sudah cukup siap secara lahir batin, hanya menunda waktu.
Mungkin dihadapan anak, Ayahnya adalah seorang yang tidak bisa memenuhi segala keinginannya, tidak menunjukkan rasa kasih sayang, tidak pandai menyenangkan anak. Bagi Ayah, semua permintaan anaknya sebenarnya baik, tetapi kadang didasari oleh emosi semata, hawa nafsu untuk mencapai kesenangan. Ayahnya berusaha memenuhi MAKSUD permohonan anaknya, tetapi bukan mengabulkan SESUAI apa yang diminta anaknya, karena Ayahnya mempertimbangkan kebaikan dan keselamatannya.
Permintaan ada yang dikabulkan, ada yang dialihkan, dan ada yang ditunda sampai waktu yang tepat. Demikian juga dengan Doa
Begitu kira-kira analog tentang kejadian permintaan kita di hadapan Tuhan
Minggu, 18 Januari 2015
Lelaki itu untuk Perempuan, dan Perempuan hanya untuk Perempuan
Pada waktu kita membaca pengumuman bahwa jumlah "mahasiswa" dalam suatu lembaga pendidikan berjumlah 200 orang, itu berarti terdiri dari mahasiswa laki-laki dan perempuan. Tetapi bila ada pengumuman bahwa "mahasiswi" diwajibkan berjilbab, maka hanya ditujukan untuk yang perempuan.
Pada waktu ada kalimat "Semoga Menjadi Haji yang mabrur", maka kata Haji itu pasti ditujukan untuk Bapak dan Ibu yang berangkat menunaikan ibadah tersebut, tetapi bila ada kalimat "Ibu Hajjah Mariah diangkat sebagai Kepala Sekolah", maka kata Hajjah itu hanya ditujukan pada kaum ibu-ibu saja.
Pada waktu dikumandangkan "Sumpah Pemuda", pasti didalam kata tersebut mengandung unsur Pemudi. Tetapi bila ada berita "Pemudi di daerah Jember yang putus sekolah, hampir semua bekerja di Pabrik Rokok", maka kata pemudi hanya menujuk pada para perempuan muda saja.
Saat seorang lelaki shalat sendiri, lalu datanglah seorang perempuan, maka ia bisa berdiri di belakangnya dan menjami makmum, sehingga shalat itu milik bersama (jama'ah), tetapi bila seorang perempuan shalat sendiri, lalu datang seorang laki-laki, maka itu tak bisa ikut dibelakangnya, karena shalat perempuan dengan siatuasi seperti itu hanya untuk dirinya, atau kawan perempuan lainnya.
So......Bila ada seorang isri yang bekerja dan mengatakan kepada suaminya: "Uangmu adalah Uangku, dan Uangku adalah Uangku saja", maka.......permaklumkanlah ! Itulah dunia perempuan
Pada waktu ada kalimat "Semoga Menjadi Haji yang mabrur", maka kata Haji itu pasti ditujukan untuk Bapak dan Ibu yang berangkat menunaikan ibadah tersebut, tetapi bila ada kalimat "Ibu Hajjah Mariah diangkat sebagai Kepala Sekolah", maka kata Hajjah itu hanya ditujukan pada kaum ibu-ibu saja.
Pada waktu dikumandangkan "Sumpah Pemuda", pasti didalam kata tersebut mengandung unsur Pemudi. Tetapi bila ada berita "Pemudi di daerah Jember yang putus sekolah, hampir semua bekerja di Pabrik Rokok", maka kata pemudi hanya menujuk pada para perempuan muda saja.
Saat seorang lelaki shalat sendiri, lalu datanglah seorang perempuan, maka ia bisa berdiri di belakangnya dan menjami makmum, sehingga shalat itu milik bersama (jama'ah), tetapi bila seorang perempuan shalat sendiri, lalu datang seorang laki-laki, maka itu tak bisa ikut dibelakangnya, karena shalat perempuan dengan siatuasi seperti itu hanya untuk dirinya, atau kawan perempuan lainnya.
So......Bila ada seorang isri yang bekerja dan mengatakan kepada suaminya: "Uangmu adalah Uangku, dan Uangku adalah Uangku saja", maka.......permaklumkanlah ! Itulah dunia perempuan
Senin, 12 Januari 2015
Menakar Manfaat Kehadiran PTN di Banyuwangi
Slamet Hariyadi*
Pembukaan
Perguruan Tinggi Negeri ketiga di Banyuwangi setelah Politeknik Negeri
Banyuwangi (Poliwangi) dan Sekolah Pilot Loka Pendidikan dan Pelatihan
Penerbang Banyuwangi (LP3B) telah menimbulkan silang pendapat
yang berkepanjangan. Ada banyak yang khawatir terhadap adanya pasal pelanggaran
aturan, disusul lagi tensi kompetisi yang signifikan diantara para
penyelenggara pendidikan di tingkat lokal, membuat persoalan ini berkelanjutan.
Apalagi Universitas Airlangga (UNAIR) sebagai pihak yang ditunjuk Pemerintah
Daerah merupakan Perguruan Tinggi Negeri The
Best Ten di Indonesia, membuat pelaku penyelenggara pendidikan berpikir dua
kali untuk bersaing di level yang sama. Namun setelah ditandatanganinya MoU oleh Bupati Banyuwangi dan Rektor UNAIR,
disaksikan Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendikbud dan Ketua DPRD Banyuwangi pada 10 Juni 2014 lalu,
mari kita analisis bersama untuk menakar manfaat kehadiran PTN di Banyuwangi.
Persoalan pertama adalah kekhawatiran
PTS mengalami penurunan pendaftar akibat hadirnya PTN besar di Banyuwangi.
Kalaupun perasaan ini sempat muncul masih dalam pemikiran yang wajar tetapi perlu
didiskusikan lagi, mengingat segmentasi calon mahasiswa yang akan masuk UNAIR tidak
sama dengan segmentasi yang akan memilih PTS di Banyuwangi. Calon mahasiswa
dengan prestasi dan nilai yang memadai tentunya yang berani masuk ke UNAIR
karena passing-grade di jurusan-jurusan
pilihan yang ada menuntut pencapaian nilai yang tinggi pula, baik dari sisi kualifikasi sekolah asal, prestasi
akademik atau non akademik yang dicapai selama di bangku sekolah pada SNM-PTN,
maupun nilai test masuk yang diraih pada
SBM-PTN. Dengan demikian masih banyak
peluang PTS Banyuwangi untuk menampung calon mahasiswa yang tidak termasuk
dalam kategori tersebut, baik secara langsung mendaftar setelah lulus maupun
setelah tidak diterima di PTN yang dituju. Bila kita hitung secara kasar,
jumlah siswa lulusan sekolah menengah atas SMA, SMK dan MA di Banyuwangi
sekitar 15 ribu-an. Dari jumlah tersebut bila meminjam Angka Partisipasi Kasar (APK)
perguruan tinggi lebih kurang 20%, maka ada 3.000-an anak yang melanjutkan
kuliah. Dengan daya tampung UNAIR Banyuwangi 200 orang untuk penerimaan
mahasiswa tahun ini, masih banyak peluang bagi PTS untuk meraih mahasiswa dari
putra daerah. Jumlah inipun belum tentu
diisi oleh siswa dari Banyuwangi semua, paling tidak hanya 30%-50% atau sekitar
60-100 orang saja.
Persoalan lain adalah tentang jurusan-jurusan
tertentu yang dibuka oleh UNAIR seperti Kedokteran Hewan dan Kesehatan
Masyarakat yang tidak secara langsung berkompetisi dengan jurusan-jurusan yang
sudah berkembang di Banyuwangi. Sebenarnya semakin banyak macam jurusan yang
dibuka akan semakin memperluas cakupan mahasiswa yang hadir dan sekolah di
Banyuwangi. Ini salah satu modal dasar terbentuknya kota pendidikan. Disisi lain dengan adanya kedua jurusan
rumpun kesehatan ini mungkin dapat menjadi akses bagi lembaga atau instansi
kesehatan seperti Rumah Sakit dan Dinas Kesehatan Kabupaten Banyuwangi untuk
bekerjasama dengan Fakultas Kedokteran UNAIR yang terkenal baik dan menjadi
rujukan se-Indonesia. Akan halnya jurusan Budidaya Perairan dan Akuntansi yang ternyata
sama dengan jurusan yang sudah ada, dapat dijadikan benchmark bagi PTS di Banyuwangi untuk mengawal kualitas jurusannya
sendiri sehingga bisa diajak kerjasama untuk meningkatkan performa. Sejumlah PTS
di Banyuwangi perlu mempunyai benchmark untuk
meningkatkan kualitas pembelajaran, penelitian dan kegiatan akademis lainnya
agar dapat berdiri sejajar dengan Perguruan Tinggi Negeri seperti yang
ditunjukkan oleh Universitas Muhammadiyah Malang, Universitas Petra Surabaya,
Universitas Guna Dharma karena secara psikologis kehadiran lembaga qualified yang dekat secara geografis akan
memacu pembenahan manajemen di segala sisi.
Manfaat lain dari kehadiran PTN di
kota gandrung ini, menjadikan Banyuwangi sebagai kota pelajar, yang akan
mengundang calon mahasiswa dari berbagai kota dan propinsi di Indonesia untuk datang,
sehingga perkembangan ini akan menghidupkan PTS-PTS untuk menjadi alternatif,
seperti halnya yang terjadi di kota Yogyakarta, Jakarta, Bandung, Surabaya dan
kota-kota pelajar lainnya. Hadirnya UNAIR justru menjadi magnet yang memperluas
akses Banyuwangi untuk menerima mahasiswa dari seluruh Indonesia, sehingga
menguntungkan Banyuwangi dari sisi
ekonomi dan budaya. Dari sisi ekonomi, terjadi arus dana yang cukup signifikan
dari Kementerian Pendidikan dan kebudyaan di PTN yang dimaksud untuk keperluan
belanja akademik, penelitian, pengabdian masyarakat, seminar dan sebagainya. Disamping
itu kiriman dari orang tua mahasiswa yang berasal dari berbagai penjuru juga
ikut menambah jumlah arus dana yang masuk . Perputaran uang yang cukup banyak
ini akan menggerakkan roda ekonomi rakyat dengan menyediakan segala fasilitas
bagi tugas belajar mereka selama di Banyuwangi. Dari sisi kebudayaan, seni
budaya Osing akan dikenal luas oleh masyarakat dari seluruh Indonesia.
Disisi lain ada pemikiran bahwa dengan
hadirnya PTN tersebut, justru menahan putra daerah yang akan pergi study ke kota
lain untuk tetap tinggal di kampung halamannya guna efisiensi biaya operasional
study yang dapat meringankan beban orang tua. Implikasinya adalah menahan capital flight yang selama ini terlepas
ke kota lain. Ada berapa banyak biaya operasional yang dikeluarkan oleh orang
tua dalam membiaya anak kuliah, seperti biaya pemondokan, konsumsi,
transportasi, fotocopy, pulsa, pembelian
keperluan sehari-hari, dan lain sebagainya. Bila setiap tahun ada 100 orang
saja anak Banyuwangi yang bisa tertahan di kampung halamannya untuk study, maka
ada lebih kurang 1 Milyar potensi uang yang tetap berputar di kota sendiri dan
tidak lepas ke kota lain. Justru Banyuwangi akan kemasukan uang dari mahasiswa
yang berasal dari kota lain yang jumlahnya tidak jauh beda dengan hitungan
sebelumnya. Belum lagi bila saat wisuda tiba, dimana tiap mahasiswa
menghadirkan orang tua dan sanak famili untuk hadir dan belanja pernak-pernik
khas kota Banyuwangi. Multiefek ini sangat bagus pengaruhnya bagi tumbuhnya
sektor ekonomi mikro dan bidang jasa, atau dengan kata lain hampir semua varian
ekonomi rakyat yang ditawarkan laku untuk dijual.
Hal lain dari manfaat kehadiran PTN
di Banywangi adalah mengisi kekosongan jurusan yang tidak ada di PTS-PTS,
sehingga dengan makin banyaknya ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM) lulusan dari
berbagai bidang keahlian di Banyuwangi, akan semakin sinergis dengan perkembangan
kota yang semakin maju di masa depan. Perkembangan suatu kota tidak luput dari
kebutuhan terhadap ketersediaan SDM yang menangani banyak bidang. Tantangan
yang dihadapi Banyuwangi tidak semakin ringan dengan makin tumbuhnya industri
manufaktur, industri jasa, bahkan industri pertambangan. Bila SDM dari putra
daerah tidak mempu menjawab perkembangan kota, maka tidak dapat dipungkiri
adanya introdusir warga dari kota lain yang akan mengisi kekosongan tersebut. Padahal
tujuan utama dari masuknya industri tidak sekedar meningkatkan income daerah, tetapi yang lebih penting
masyarakat Banyuwangi bisa menjadi tuan di kampung halamannya sendiri.
Manfaat berikutnya adalah terbukanya
peluang bagi PTS untuk membuka jurusan yang sejenis, untuk menampung calon
mahasiswa yang tidak diterima di UNAIR Ada kecenderungan bahwa niat seseorang
untuk sekolah ke suatu tempat bisa jadi dari ketertarikan terhadap kota
tersebut. Di samping itu dengan membuka jurusan yang sejenis, PTS dapat
langsung bertindak sebagai penampung dan sister
department dari jurusan yang dimaksud. Mengenai sumberdaya pengajar, bisa
melalui dua skenario yakni memberi kesempatan dosen UNAIR yang homebase di Banyuwangi
untuk mengajar sore atau memanfaatkan putra-putra Banyuwangi yang telah lulus
dari jurusan tersebut setelah melanjutkan ke program Magister.
Dari
uraian tersebut masyarakat dapat menilai bersama bahwa kehadiran PTN memberikan
efek positif bagi perkembangan kota Banyuwangi yang akseleratif. Dalam waktu
dekat memang perlu penyesuaian-penyesuaian bagi PTS di Banyuwangi dalam rangka
merespon kehadiran UNAIR, dan Pemerintah Daerah wajib menjadi pendamping yang
bijaksana agar program yang dicanangkan ini justru akan menghasilkan win-win solution, karena bagaimanapun
juga PTS di Banyuwangi adalah aset masyarakat yang telah banyak berjasa bagi
pemerataan pendidikan perguruan tinggi di Banyuwangi.
*Putra Daerah, Dosen Universitas Jember
(Diterbitkan di Radar Jember, Jumat18 Juli 2014, halaman 40)
http://issuu.com/alsod/docs/18_juli_web_280fa6fda4f872#signin
PR Bidang Pendidikan di Pemerintahan Indonesia Hebat
Oleh: Slamet Hariyadi*)
Setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU)
menetapkan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla menjadi pemenang dalam Pilpres
2014-2019, marilah sekarang kita fokus kepada program bidang Pendidikan yang
dicanangkan. Mengapa penulis lebih memilih program ini sebagai bagian penting
dari program yang lain? karena peradaban suatu bangsa di masa depan ditentukan
oleh kualitas sumberdaya manusianya, yang dalam hal ini banyak bergantung pada
akses dan kualitas pendidikan.
Ada sembilan program yang
dicanangkan dalam lima tahun kedepan. Pertama adalah program Wajib Belajar
selama 12 tahun dibiayai negara dan beasiswa bagi mahasiswa di Perguruan
Tinggi. Program ini merupakan representasi dari keperdulian pemerintah sesuai
amanat UUD 1945 yakni “mencerdaskan kehidupan bangsa”, yang memberikan
kesempatan seluruh rakyat untuk mengenyam pendidikan dari hulu hingga hilir. Tantangannya
adalah di lapangan program kewajiban belajar belum tentu direspon oleh
masyakat, sehingga Angka Putus Sekolah (APS) di Indonesia belum juga tuntas
hingga saat ini. Berdasarkan data BPS
dari sumber Profil Anak Indonesia, pada tahun 2011, rata-rata nasional APS
untuk SD (0,67%), SMP (2,21%), dan SMA (2,32%). Propinsi yang paling tinggi
tingkat APS untuk SD adalah Sulawesi Barat (2,37%), SMP di Papua Barat (2,37 %)
dan SMA di Sulawesi Tengah (6,58 %). Penyebab putus sekolah antara lain tidak ada biaya
(49,5%), bekerja membantu orang tua (9,2%), pernikahan dini (3,1%), tidak bisa
calistung (1%) dan karena faktor lain-lain (37,2%) diantaranya kurangnya kesadaran orang tua akan pentingnya
pendidikan sebagai investasi masa depan anak dan keadaan geografis yang kurang mendukung. Maka itu sangat
strategis sekali program ini dicanangkan sebagai jawaban atas problem APS yang
terus ada di setiap periode pemerintahan.
Program kedua yang mendukung program
pertama adalah memastikan partisipasi 100% dalam pendidikan SD dan 95% pada SMP.
Perlu diketahui bahwa Angka Partisipasi Kasar (APK) tingkat SD (95,4%), SMP
(98,1%) dan SMA (78,7%). Artinya selalu ada anak yang tidak melanjutkan sekolah
setiap lulus dari satu jenjang. Angka itu makin mengecil pada level Perguruan
Tinggi. Ini berarti pemerintah perlu memikirkan support system yang menjamin partisipasi masyarakat untuk
menyekolahkan anak tanpa hambatan. Tantangannya adalah kesadaran akan
pentingnya melanjutkan sekolah sering terbentur pada ketidakpastian ukuran
kesuksesan setelah mereka lulus. Artinya, anak yang sudah sekolah tinggi-tinggi
belum tentu mendapatkan pekerjaan yang layak dan sukses. Hal ini mengindikasikan bahwa sekolah perlu
meningkatkan peran terhadap performa anak didik dan merevisi cara mengevaluasi
agar semua kompetensi diri siswa dapat direkam secara komprehensif, sehingga
pribadi utuh dari seorang anak didik dapat dikenali gurunya dan dapat
disesuaikan dengan pola belajarnya. Dengan
begitu sekolah menjadi sangat berarti bagi pengembangan diri anak untuk bekal
hidup di masa depannya. Masyarakat tanpa disuruh akan mendatangi sekolah dan
mendukung partisipasi dalam kegiatan belajar anak sampai tuntas.
Sistem pendukung lain yang akan memback-up program kedua ini adalah
diwujudkannya penerbitan Kartu Indonesia Pintar sebagai program ketiga untuk
membantu biaya operasional pendidikan siswa di sekolah. Menilik dari kartu
serupa yang pernah diterbitkan untuk warga DKI Jakarta, tiap bulan siswa/siswi kurang mampu akan diberikan
bantuan pendidikan Rp 240.000,00 (SMA), Rp 210.000,00 (SMP), dan Rp 180.000,00 (SD). Besaran ini mungkin akan disesuaikan
dengan kondisi daerah dan index kemahalan masing-masing propinsi. Tantangan
dari program ini antara lain validitas data anak kurang mampu, besaran varian
dana tiap wilayah di seluruh Indonesia dan keterjaminan tidak ada potongan
ilegal diluar ketentuan. Membandingkan dengan program Bidik Misi untuk
Mahasiswa, tidak mudah untuk menentukan status sebuah keluarga kurang mampu,
karena tidak hanya berdasarkan income,
tetapi juga tanggungan yang terbeban pada keluarga tersebut. Jangan sampai
program ini justru membuka peluang penyimpangan data, dimana anak yang cukup
mampu justru mendapatkan bantuan sedang yang tidak mampu malah terabaikan. Kejujuran
dari perangkat desa untuk memberikan surat keterangan sangat dibutuhkan, dan
masyarakat sebagai pengawal dari program ini harus perduli bila ada
penyimpangan data. Hal ini demi ketepatan sasaran dan keberhasilan program.
Setelah
pintu akses dan jaminan sekolah diberikan, program keempat adalah meningkatkan pelatihan guru dan memastikan ketersediaan
guru di daerah tertinggal. Guru dan siswa bagai dua sisi mata uang yang saling
sinergis untuk menghasilkan kualitas pendidikan yang diharapkan. Guru harus
menjadi sumber inspirasi, sumber motivasi dan sumber performansi di sekolah.
Guru harus dapat menjadi fasilitator dalam pembelajaran, model bagi perilaku
siswa dan tauladan dalam interaksi sosialnya. Guru harus memiliki empat
kompetensi wajib yakni Kompetensi Profesional, Kompetensi Paedagogik,
Kompetensi Sosial dan Kompetensi Kepribadian. Dengan demikian pelatihan guru sangat
urgent untuk dapat membentuk pengetahuan, sikap dan ketrampilan guru sesuai
amanat di atas. Juga dalam pelatihan tidak
sekedar meningkatkan kompetensi kognitifnya, tetapi juga sisi kepribadiannya
sebagai seorang pendidik layaknya resi di kisah Mahabarata. Disamping itu
ketersediaan guru yang terbatas dan tidak merata perlu mendapat perhatian
tersendiri, karena menyebabkan sekolah-sekolah di daerah terpencil dan
tertinggal hanya menjadi lembaga pendidikan minim karya. Ada 183 Kabupaten yang
dinyatakan sebagai daerah tertinggal, dimana 70% berada di Kawasan Indonesia
Timur. Melalui kerja sama dengan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal,
program pemerataan guru dapat berjalan dengan baik. Tantangan dari program ini
adalah kesulitan mendapatkan guru yang sukarela ditempatkan di wilayah
tersebut. Kebanyakan guru berusaha untuk minta pindah ke kota dan meninggalkan
tempat terpencil walaupun dalam surat pernyataan sebagai guru bersedia
ditempatkan di seluruh wilayah negara kesatuan Republik Indonesia. Maka itu
pemerintah berkewajiban untuk mengembangkan wilayah tertinggal menjadi daerah
yang cukup layak sebagai sebuah desa atau kota dan mengoptimalkan kekayaan bumi
untuk diolah ditempat sendiri. Dengan begitu masyarakatnya tidak perlu eksodus
ke daerah lain untuk mendapatkan penghidupan yang layak dan guru-gurunyapun
sudi untuk bertempat tinggal di daerah tersebut. Sebagai jembatan dalam
pemenuhan progam ini, sementara bisa memanfaatkan program yang dicetuskan oleh
Anies Baswedan yakni Indonesia Mengajar di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM-3T).
Program kelima yakni memberikan jaminan hidup
untuk para guru secara berkualitas dan merata. Pernyataan ini bisa mengindikasikan
bahwa Tunjangan Profesi Pendidik (TPP) tidak akan dihapus, bahkan perlu
mempertimbangkan sistem penggajian berbasis kinerja dan keunikan wilayah untuk
kesejahteraan yang berkualitas. Guru dengan produktivitas tinggi diberikan
insentif yang berbeda dengan guru standar rata-rata. Reward diberikan berbasis pada karya yang dihasilkan guru
berorientasi pada peningkatan kompetensi siswanya dan karya monumental yang
memberikan efek domino baik bagi diri guru, teman sejawat dan lingkungan
pendidikan yang lebih luas. Sedangkan keunikan wilayah dinilai berdasarkan
kesulitan akses seperti wilayah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal) dan index
kemahalan kota (Megapolitan, Metropolitan, Kota Besar, Kota Sedang dan Kota
Kecil). Dengan begitu kesejahteraan guru tidak hanya berkualitas dan merata,
tetapi juga berkeadilan.
Program keenam adalah mengevaluasi
sistem pendidikan nasional termasuk Ujian Nasional (UN). Pengertian evaluasi
menyangkut banyak aspek dari penilaian sistem yang telah dijalankan selama ini,
termasuk masalah input, process,
enviromental, output dan outcome.
Bila mengacu pada Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, berarti juga mengevaluasi
delapan standar yakni Standar Pengelolaan, Standar Pendidik dan
Tenaga Kependidikan,
Standar Sarana Prasarana,
Standar Pembiayaan,
Standar Proses,
Standar Isi,
Standar Penilaian dan Standar Kompetensi Lulusan. Menyangkut point yang terakhir, UN akan masuk evaluasi. Evaluasi
sistem harus tetap mengacu pada target untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, yang bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab.Tantangannya adalah variabilitas profil lembaga pendidikan yang sangat
beragam dari semua jenjang pendidikan, jenis pendidikan, kualitas lembaga
pendidikan. Kendala lain antara lain
kemampuan guru dalam menjalankan keempat kompetensi, terbatasnya media dan
peralatan pembelajaran yang minim, tidak adanya laboratorium dan perpustakaan,
sumber belajar yang tidak layak, jumlah siswa yang terlalu banyak dalam satu
kelas atau terlalu sedikit dalam satu sekolah, dsb. Untuk itu memerlukan effort yang sangat besar dari pemerintah
dalam bentuk support system yang
handal, masif, masal dan terkontrol.
Rupanya program keenam berlanjut
dengan program ketujuh yakni perbaikan
atau menata kurikulum pendidikan dengan menonjolkan pendidikan kewarganegaraan.
Berharap sekali program ini tidak dalam pengertian mengganti kurikulum mengingat
baru saja diterapkan Kurikulum 2013 (K-13), dimana sosialisasi, pelatihan,
induksi awal, penyusunan perangkat baru saja dijalankan dari tahun alu. Selayaknya
suatu kurikulum diterapkan minimal 10 tahun untuk dinilai efektivitas dan
relevansinya dengan perkembangan masyarakat terkini. Hal yang dibutuhkan pada
pemerintahan lima tahun ini justru dukungan terhadap pelaksanaan K-13 supaya
guru tidak terus diombang-ambingkan dengan kebijakan baru, fokus dengan
prestasi siswa dan komitmen untuk melaksanakan pembelajaran dengan terampil dan
berhasil. Penataan dan perbaikan kurikulum juga hendaknya lebih ke arah
konsistensi implementasi sesuai tujuan, sasaran dan target kurikulum,
penyesuaian content sesuai
perkembangan zaman, tidak mengabaikan character
building dan semangat nasionalisme keindonesiaan, serta yang terpenting
adalah tetap teguh mengajarkan doktrin keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Program kedelapan adalah inti dari
kampanye yang sering disampaikan Capres Indonesia Hebat, yakni Revolusi Mental.
Untuk bidang pendidikan fokus 70% pada pendidikan Budi Pekerti dan 30% pada
pengetahuan umum di tingkat pendidikan dasar. Ini sangat sinergis dengan K-13
yang memprioritaskan target pembelajaran pada Kompetensi Inti Sikap Spritual
dan Sikap Sosial. Memang persoalan Budi Pekerti sudah sangat kritis bagi bangsa
ini. Kesadaran (Awarness) terhadap
suatu nilai menjadi barang langka, karena penyimpangan, kesalahan, dan kriminalitas
yang terjadi bukan karena ketiadaan pengetahuan akan obyek yang menjadi
penyebab, tetapi lebih karena kesadaran akan pengetahuan itu yang diabaikan.
Seseorang yang paham aturan pajak malah melanggar pajak, pejabat yang paham
hukum justru mempermainkan hukum, person yang paham agama malah terjerat oleh
persoalan agama. Inilah tantangan besar dari revolusi mental untuk
mengedepankan kesadaran di atas pengetahuan melalui pendidikan Budi Pekerti. Tantangannya
adalah budaya hedonisme yang sudah semakin mewabah, permissivitas di segala
aspek kehidupan, dekadensi moral di semua kalangan, dan kebanyakan parameter
statistik di level Internasional masih menempatkan Indonesia pada kedudukan
juru kunci, sejajar dengan negara-negara kecil dan miskin. Persoalan-persoalan
ini perlu dicarikan jalan keluar yang sinergis, akseleratif dan solutif.
Program kesembilan adalah memberikan
perhatian yang tinggi kepada pendidikan yang berbasiskan peningkatan IPTEKS. Sebenarnya ini efek dari kedelapan program di
atas. Bilamana keseluruhan program pendidikan dapat dikawal dengan baik,
didukung semua lapisan masyarakat dan dikontrol melalui sistem yang
representatif, maka peningkatan IPTEKS adalah sebuah keniscayaan.
Tantangan-tantangan dari setiap program perlu mendapatkan repson yang bijak,
dengan melihat akar masalah dan kondisi wilayah. Rentang kendali yang sangat luas
dari Sabang sampai Merauke menuntut pemerintah harus berpikir mozaik dan tidak
general, tetapi tetap komprehensif dan proporsional. Keindonesiaan tidak
dibangun oleh homogenitas, tetapi justru oleh heterogenitas, pluralisme, dan
kebhinekaan, sehingga setiap daerah mempunyai karakteristik yang khas dan
berbeda dengan yang lain, yang harus dibingkai dengan keputusan yang bijak,
adil dan merata. Dengan demikian
masyarakat akan merasakan perubahan yang signifikan dari hasil pendidikan yang
berkualitas, yang lambat laun akan mengubah peradaban Indonesia menjadi lebih maju,
unggul dan hebat di masa depan.
*) Dosen
Universitas Jember
KURIKULUM 2013 MENDUKUNG REVOLUSI MENTAL
Oleh: Drs. Slamet Hariyadi, M.Si*)
Sejarah baru bangsa ini telah
dimulai, presiden ketujuh telah ditetapkan dengan pasti oleh Mahkamah
Konstitusi yakni Joko Widodo dengan wakil presiden Jusuf Kalla. Program kerja
utama yang pernah dicanangkan adalah revolusi mental. Tantangan pemerintahan
kedepan cukup berat menghadapi persaingan global, sementara masyarakat
Indonesia dirasa belum cukup siap untuk face-to-face berkompetisi dengan
negara-negara yang akan masuk menanamkan investasi di Indonesia. Sekedar
diketahui bahwa tahun 2013 kemarin HDI (Human Development Index)
menduduki
peringkat ke-121 dari 186 negara dengan point 0.629, menempati kelas Medium Human Development. Padahal sumberdaya
manusia merupakan aset paling strategis bagi suatu negara karena bukan saja
sebagai comparative advantages
melainkan juga sebagai competitive
advantages. Hal ini disebabkan kemajuan suatu bangsa dan negara bukan hanya
bertumpu pada ketersediaan sumberdaya alam (natural
resources) semata, namun juga ditentukan oleh kualitas sumberdaya
manusianya (human resources). Untuk
itu dibutuhkan daya dorong yang efektif
guna membangkitkan sikap mental yang tangguh, daya kreasi yang tinggi dan
keterampilan yang kompetitif.
Berkaitan dengan hal ini, pemerintah
sejak tahun 2013 telah menerapkan Kurikulum baru bagi sekolah. Ada harapan
besar kurikulum ini bersinergis dengan program revolusi mental, mengingat salah
satu pilar bangsa adalah para pemuda yang kelak akan memimpin bangsa ini. Disamping itu pembenahan mental yang dilakukan
melalui implementasi kurikulum di sekolah akan efektif kepada tiap individu di
masyarakat mengingat hampir setiap keluarga selalu ada unsur anggotanya yang
duduk dibangku sekolah. Diharapkan hal ini memberikan pengaruh lingkungan yang
kondusif dan multiplayer effect bagi masyarakat
luas guna mendukung revolusi mental yang akan dijalankan pemerintah. Muatan-muatan
dalam kurikulum 2013 merupakan media untuk membentuk pola pikiran, pola perasaan
dan pola tingkah laku seorang siswa. Dari ketiga unsur itulah akan mental
seseorang dapat dibangun dengan baik, lurus dan mulia.
Tahun
ajaran baru kali ini merupakan tahun kedua pelaksanaan Kurikulum 2013
(selanjutnya disebut K-13). Sejauh ini belum banyak dipahami oleh masyarakat
luas apa beda kurikulum sekarang dibanding dengan yang dulu-dulu. Tahunya orang
tua hanya ganti buku, ganti model rapor dan ganti tema matapelajaran. Padahal
masyarakat perlu memahami perubahan kurikulum ini mengingat peran orang tua
sangat penting untuk mendampingi putra-putrinya belajar dan menjalin sinergitas
dengan guru untuk kesuksesan dan kelancaran study.
K-13
muncul dari dinamika dan tantangan dalam lingkungan lokal, nasional maupun
internasional. Di lingkungan lokal makin
merosotnya nilai-nilai kearifan lokal yang sudah tidak dipakai lagi dalam
interaksi sosial di masyarakat, padahal nilai-nilai tersebut terbukti ampuh
dalam mengawal tumbuh-kembangnya suatu masyarakat dan menjadi tuntunan bagi
terjaminnya harmonisasi interaksi antar individu dalam masyarakat tersebut.
Secara nasional persoalan perkelahian pelajar, mahasiswa, kelompok-kelompok di
masyarakat, antar suku, sudah demikian memprihatinkan. Termasuk dalam ketegori
ini kasus korupsi, hamil di luar nikah, minuman keras, narkoba, judi, dan
banyak lagi persoalan yang tiada kunjung selesai bahkan naik secara statistik.
Dalam perspektif global, tantangan kemajuan zaman yang tidak bisa diikuti
secara sinergis oleh bangsa Indonesia, percaturan bidang teknologi, budaya,
ekonomi bahkan persoalan keamanan wilayah perbatasan juga perlu pekerjaan rumah
tersendiri. Padahal pemerataan pendidikan semakin baik, keterjaminan anak-anak
untuk sekolah semakin meningkat, sarjana dan pascasarjana semakin banyak,
tetapi persoalan-persoalan di atas justru semakin tumbuh subur?.
Dulu zaman tahun 1920’an, sarjana
Indonesia masih sedikit, tapi mereka telah mampu mewujudkan persatuan dan
kesatuan dari Sabang sampai Merauke. Pada tahun 1940’an jumlah sarjana belum
ada 100 orang, tapi mereka telah mampu mengukir sejarah besar dengan
memproklamirkan Kemerdekaan bangsa ini. Lalu, apa yang telah diperbuat oleh
sekian juta sarjana dan pascasarjana sekarang bagi perubahan peradaban
Indonesia yang lebih maju? Apa yang salah dari pola pendidikan yang diterapkan
selama ini?
Berdasarkan analisis proses dan
produk pendidikan, ternyata pola pendidikan kita lebih mengutamakan aspek
kognitif (pengetahuan) semata, dibanding aspek afektif (sifat, sikap &
karakter) dan psikomotorik (keterampillan). Sebenarnya sejak lama amanat ketiga
domain itu disampaikan dan terkonfigurasi di dalam kurikulum, tetapi kurang
mendapat penekanan sehingga para pendidik dan penyelenggara pendidikan lebih
berkutat pada pengetahuan semata. Dalam kata lain, guru lebih sedih bila
anak-anak tidak dapat menjawab soal ujian tentang aspek-aspek yang menunjang
kebersihan, daripada anak-anak yang tidak dapat menjaga kebersihan di bawah
bangkunya, di kamar mandi sekolahnya, di halaman belakang sekolah, dan
sebagainya. Keberhasilan pendidikan anak didik hanya dilihat dari angka demi
angka hasil ujian. Profil seorang pelajar di Indonesia yang menginginkan
manusia Indonesia seutuhnya justru termozaik oleh kutub pengetahuan semata.
Maka itu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan segera meluncurkan produk
Kurikulum 2013 sebagai jawaban atas kegalauan di atas. Ini sebagai kelanjutan
dari kurikulum-kurikulum sebelumnya yang terus disempurnakan dari sisi-sisi
lain yang makin melengkapi.
Amanat yang pertama dari muatan kurikulum 2013 adalah pola pendidikan yang utuh tercermin dari pelaksanaan pembelajaran kognitif, afektif dan psikomotorik. Kalau dulu guru hanya wajib mengartikulasikan kompetensi anak didik pada aspek pengetahuan semata, sedangkan aspek sikap dan ketrampilan diincludekan dalam nilai pengetahuan, sehingga rapor siswa hanya berisi angka-angka tunggal dengan tulisan tinta hitam atau merah sebagai pembedanya. Namun sekarang ketiga domain harus muncul dalam penilaian dan tergambar jelas di rapor siswa. Dengan begitu orang tua tidak saja mengetahui capaian pengetahuan anak secara akademis, tetapi juga performa sikap spiritual dan sosialnya, bahkan tingkat keterampilan anak dalam tiap matapelajarannya. Orang tua tidak perlu lagi menduga-duga bagaimana sikap anaknya di sekolah terhadap matapelajaran yang diikuti, karena deskripsi yang dituliskan guru di kolom sikap sudah cukup lengkap mengelaborasi karakteristik siswa tersebut. Ini sebagai check and recheck terhadap keutuhan hasil belajar.
Amanat K-13 kedua adalah target kompetensi spiritual dan sosial lebih diprioritaskan dibanding pengetahuan dan keterampilan. Hal ini bukan berarti menganakemaskan aspek satu dan mengabaikan aspek yang lain, tetapi aspek kesadaran (Awarness) perlu dibangkitkan lagi dari dalam diri anak-anak sebagai produk awal dari interaksi belajar. Kesadaran semacam ini yang sekarang langka, karena banyak orang yang hanya pandai menampakkan pengetahuan dengan kemasan kata-kata indah dan high-context, tetapi tidak tercermin dalam perilakunya. Ambil contoh kasus perekayasa pajak yang merugikan negara ratusan juta rupiah, dimana orang yang bersangkutan telah dibelaki pengetahuan banyak tentang resiko dan aspek hukum dari perbuatan yang dilakukan, tetapi kesadaran akan mentaati hukum dan aturan itu yang sangat tipis. Contoh lain yaitu kasus seorang pakar hukum yang justru mencari celah diantara kelemahan pasal demi pasal dalam undang-undang untuk keuntungan pribadi. Untuk itu tidak berlebihan bila dalam amanat K-13 diharapkan guru mensetting pembelajarannya dengan efek pertama dan utama pada kedua sikap tersebut guna membangun mental yang baik untuk masa sekarang dan yang akan datang.
Amanat ketiga adalah penggunaan pendekatan saintifik pada setiap pembelajaran. Pendekatan yang dicetuskan oleh Dyer, J.H (2011) didasarkan pada pemikiran bahwa 2/3 dari kemampuan kreativitas seseorang diperoleh melalui pendidikan, sedang 1/3 sisanya berasal dari genetik/keturunan. Ini kebalikan pada kemampuan intelijensia seseorang yang hanya 1/3nya berasal dari pendidikan sedang 2/3 sisanya dari genetik/keturunan. Maka itu kemampuan kreativitas lebih dikedepankan daripada kemampuan intelejensia yang selama ini dijadikan rujukan. Dalam pembelajaran abad 21, kreativitas menempati fokus utama dalam kebutuhan belajar, karena dari aspek ini akan terlahir banyak ide, gagasan, pendapat, dan inovasi yang dapat dimanfaatkan dalam menjawab tantangan kemajuan zaman. Kemampuan kreativitas tersebut dapat diperoleh melalui kegiatan Observing (mengamati), Questioning (menanya), Associating (menalar), Experimenting (mencoba), dan Networking / Communication (Membentuk jejaring/ mengkomunikasikan). Inilah yang disebut sebagai pendekatan Saintifik. Pembelajaran berbasis intelejensia hanya menghasilkan peningkatan hasil belajar 50%, sedangkan pembelajaran berbasis kreativitas mampu menghasilkan peningkatan sampai 200%. Unsur kreativitas inilah yang sangat dibutuhkan bagi tantangan global saat ini. Unsur ini pula yang mampu mencetuskan ide seseorang untuk mencari jalan keluar dari permasalahan, tidak mudah menyerah terhadap keadaan, dan selalu memunculkan harapan dari setiap tindakan. Ini yang disebut mental baja, karena apapun keadaannya akan dapat dihadapi dengan memanfaatkan kreativitasnya.
Amanat yang pertama dari muatan kurikulum 2013 adalah pola pendidikan yang utuh tercermin dari pelaksanaan pembelajaran kognitif, afektif dan psikomotorik. Kalau dulu guru hanya wajib mengartikulasikan kompetensi anak didik pada aspek pengetahuan semata, sedangkan aspek sikap dan ketrampilan diincludekan dalam nilai pengetahuan, sehingga rapor siswa hanya berisi angka-angka tunggal dengan tulisan tinta hitam atau merah sebagai pembedanya. Namun sekarang ketiga domain harus muncul dalam penilaian dan tergambar jelas di rapor siswa. Dengan begitu orang tua tidak saja mengetahui capaian pengetahuan anak secara akademis, tetapi juga performa sikap spiritual dan sosialnya, bahkan tingkat keterampilan anak dalam tiap matapelajarannya. Orang tua tidak perlu lagi menduga-duga bagaimana sikap anaknya di sekolah terhadap matapelajaran yang diikuti, karena deskripsi yang dituliskan guru di kolom sikap sudah cukup lengkap mengelaborasi karakteristik siswa tersebut. Ini sebagai check and recheck terhadap keutuhan hasil belajar.
Amanat K-13 kedua adalah target kompetensi spiritual dan sosial lebih diprioritaskan dibanding pengetahuan dan keterampilan. Hal ini bukan berarti menganakemaskan aspek satu dan mengabaikan aspek yang lain, tetapi aspek kesadaran (Awarness) perlu dibangkitkan lagi dari dalam diri anak-anak sebagai produk awal dari interaksi belajar. Kesadaran semacam ini yang sekarang langka, karena banyak orang yang hanya pandai menampakkan pengetahuan dengan kemasan kata-kata indah dan high-context, tetapi tidak tercermin dalam perilakunya. Ambil contoh kasus perekayasa pajak yang merugikan negara ratusan juta rupiah, dimana orang yang bersangkutan telah dibelaki pengetahuan banyak tentang resiko dan aspek hukum dari perbuatan yang dilakukan, tetapi kesadaran akan mentaati hukum dan aturan itu yang sangat tipis. Contoh lain yaitu kasus seorang pakar hukum yang justru mencari celah diantara kelemahan pasal demi pasal dalam undang-undang untuk keuntungan pribadi. Untuk itu tidak berlebihan bila dalam amanat K-13 diharapkan guru mensetting pembelajarannya dengan efek pertama dan utama pada kedua sikap tersebut guna membangun mental yang baik untuk masa sekarang dan yang akan datang.
Amanat ketiga adalah penggunaan pendekatan saintifik pada setiap pembelajaran. Pendekatan yang dicetuskan oleh Dyer, J.H (2011) didasarkan pada pemikiran bahwa 2/3 dari kemampuan kreativitas seseorang diperoleh melalui pendidikan, sedang 1/3 sisanya berasal dari genetik/keturunan. Ini kebalikan pada kemampuan intelijensia seseorang yang hanya 1/3nya berasal dari pendidikan sedang 2/3 sisanya dari genetik/keturunan. Maka itu kemampuan kreativitas lebih dikedepankan daripada kemampuan intelejensia yang selama ini dijadikan rujukan. Dalam pembelajaran abad 21, kreativitas menempati fokus utama dalam kebutuhan belajar, karena dari aspek ini akan terlahir banyak ide, gagasan, pendapat, dan inovasi yang dapat dimanfaatkan dalam menjawab tantangan kemajuan zaman. Kemampuan kreativitas tersebut dapat diperoleh melalui kegiatan Observing (mengamati), Questioning (menanya), Associating (menalar), Experimenting (mencoba), dan Networking / Communication (Membentuk jejaring/ mengkomunikasikan). Inilah yang disebut sebagai pendekatan Saintifik. Pembelajaran berbasis intelejensia hanya menghasilkan peningkatan hasil belajar 50%, sedangkan pembelajaran berbasis kreativitas mampu menghasilkan peningkatan sampai 200%. Unsur kreativitas inilah yang sangat dibutuhkan bagi tantangan global saat ini. Unsur ini pula yang mampu mencetuskan ide seseorang untuk mencari jalan keluar dari permasalahan, tidak mudah menyerah terhadap keadaan, dan selalu memunculkan harapan dari setiap tindakan. Ini yang disebut mental baja, karena apapun keadaannya akan dapat dihadapi dengan memanfaatkan kreativitasnya.
Amanat keempat adalah penerapan
model pembelajaran Discovery Learning
(DL), Problem Based Learning (PBL)
dan Project Based Learning (PjBL). Ketiga
model ini lebih menekankan kepada aktivitas siswa sebagai subyek belajar dan
meminimalisasi dominasi guru di dalam kelas. Dengan porsi yang lebih besar
diperankan oleh siswa, akan membentuk karakter yang kuat karena selalu
didedahkan dengan ekplorasi permasalahan, menemukan solusi dan memberikan
rekomendasi atas hasil pemikirannya. DL memberikan keleluasaan siswa untuk
menggali pengetahuan sendiri dari aktivitas observasi, koleksi, klasifikasi,
prediksi, verifikasi, dan generalisasi yang menuntun siswa menemukan sendiri
pengetahuannya. PBL mendekatkan siswa pada masalah kontekstual sehingga
merangsang siswa untuk bekerja memecahkan masalah dunia nyata dari
persoalan-persoalan yang tengah mengemuka di masyarakat tetapi sinergis dengan
pembahasan tema yang ada dalam matapelajaran. PjBL merupakan model belajar yang
menugaskan siswa menggunakan project sebagai
media, sehingga siswa berkesempatan untuk melakukan eksplorasi, interpretasi,
evaluasi, dan konklusi selama tahap pembelajarannya. Dengan atmosfir yang
dikondisikan pada pembelajaran-pembelajaran model tersebut di atas akan
membangun mental kerja yang baik bagi anak didik. Bekerja tidak lagi hanya
terfokus pada rutinitas semata, tetapi pada kekaryaan dan produktivitas yang
dihasilkan.
Amanat
kelima adalah Penilaian Autentik yang memberikan kesempatan bagi siswa untuk
dinilai berbagi aspek yang ada dalam dirinya. Penilaian ini juga memungkinkan
siswa dapat menunjukkan kemampuannya dalam menyelesaikan tugas, serta
mengekspresikan modal pengetahuan dan keterampilannya. Dengan demikian tidak
ada aktivitas siswa yang luput dari pengamatan dan penilaian guru. Hal ini
memberikan pengaruh berbeda antara siswa yang aktif dan tidak aktif. Bagi yang
aktif, penilaian model ini mendukung performa yang diekspresikan selama
pembelajaran, sehingga merasa berarti dan dihargai dari setiap karya yang
dihasilkan. Sementara bagi siswa yang tidak aktif, penilaian model ini bisa
menjadi motivasi dan dorongan untuk terus-menerus melakukan karya yang mungkin
belum dapat dicapai dalam proses pembelajaran, baik dari sisi pengetahuan,
sikap dan ketrampilan. Alhasil penilaian komprehensif semacam ini bak CCTV bagi
siswa, membangun mental pengawasan yang baik bagi dirinya, karena semua
aktivitas yang dilakukannya tidak ada yang luput dari penilaian sehingga memicu
dan memacu produktivitas yang optimal.
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa K-13 merupakan kurikulum mutakhir yang
memberikan peluang bagi siswa untuk mengembangkan eksistensi diri seluas
mungkin, melalui bimbingan guru sebagai fasilitator akan mengasah pengetahuan,
melatih ketrampilan dan memunculkan sikap spiritual serta sikap sosial yang
mulia sebagai bekal dalam menghadapi dunia karirnya di masa depan. Dengan
penerapan K-13 ini diharapkan terlahir putra-putri terbaik bangsa, yang
berakhlak mulia, berpengetahuan luas, dan terampil dalam segala bidang, yang
dapat membawa Indonesia menjadi bangsa yang makmur dalam berkeadilan dan adil
dalam kemakmuran, serta disegani oleh bangsa-bangsa lain di dunia.
*)Dosen Universitas Jember, mahasiswa doktoral pasca
sarjana UM.
Selasa, 06 Januari 2015
Filosofi Operasi Hitung Matematika
Masih ingatkah dengan rumus operasi hitung:
+ x + = +
+ x - = -
- x + = -
- x - = +
Ada banyak makna dibalik operasi matematika di atas.
A. Dalam hal interaksi sosial
1. Temannya (+) teman (+).......adalah Teman (+)
2. Temannya (+) lawan (-) .......adalah Lawan (-)
3. Lawannya (-) teman (+)........adalah Lawan (-)
4. Lawannya (-) lawan (-) ........adalah Teman (+)
B. Dalam hal budi pekerti
1. Orang yang senang (+) melihat orang lain senang (+), maka akan didoakan (ke)senang(an) (+)
2. Orang yang senang (+) melihat orang lain susah (-), maka akan didoakan (ke)susah(an) (-)
3. Orang yang susah (-) melihat orang lain senang (+), maka akan merasakan (ke)susah(an) (-)
4. Orang yang susah (-) melihat orang lain susah (-), maka akan didoakan (ke)bahagia(an) (+)
Sebenarnya, prinsip sukses dan bahagia itu sederhana, hanya kita yang membuat menjadi rumit karena tergoda oleh bisikan syetan yang membisikkan keburukan dalam hati.
Smoga bermanfaat
Langganan:
Postingan (Atom)