Oleh: Drs. Slamet Hariyadi, M.Si*)
Sejarah baru bangsa ini telah
dimulai, presiden ketujuh telah ditetapkan dengan pasti oleh Mahkamah
Konstitusi yakni Joko Widodo dengan wakil presiden Jusuf Kalla. Program kerja
utama yang pernah dicanangkan adalah revolusi mental. Tantangan pemerintahan
kedepan cukup berat menghadapi persaingan global, sementara masyarakat
Indonesia dirasa belum cukup siap untuk face-to-face berkompetisi dengan
negara-negara yang akan masuk menanamkan investasi di Indonesia. Sekedar
diketahui bahwa tahun 2013 kemarin HDI (Human Development Index)
menduduki
peringkat ke-121 dari 186 negara dengan point 0.629, menempati kelas Medium Human Development. Padahal sumberdaya
manusia merupakan aset paling strategis bagi suatu negara karena bukan saja
sebagai comparative advantages
melainkan juga sebagai competitive
advantages. Hal ini disebabkan kemajuan suatu bangsa dan negara bukan hanya
bertumpu pada ketersediaan sumberdaya alam (natural
resources) semata, namun juga ditentukan oleh kualitas sumberdaya
manusianya (human resources). Untuk
itu dibutuhkan daya dorong yang efektif
guna membangkitkan sikap mental yang tangguh, daya kreasi yang tinggi dan
keterampilan yang kompetitif.
Berkaitan dengan hal ini, pemerintah
sejak tahun 2013 telah menerapkan Kurikulum baru bagi sekolah. Ada harapan
besar kurikulum ini bersinergis dengan program revolusi mental, mengingat salah
satu pilar bangsa adalah para pemuda yang kelak akan memimpin bangsa ini. Disamping itu pembenahan mental yang dilakukan
melalui implementasi kurikulum di sekolah akan efektif kepada tiap individu di
masyarakat mengingat hampir setiap keluarga selalu ada unsur anggotanya yang
duduk dibangku sekolah. Diharapkan hal ini memberikan pengaruh lingkungan yang
kondusif dan multiplayer effect bagi masyarakat
luas guna mendukung revolusi mental yang akan dijalankan pemerintah. Muatan-muatan
dalam kurikulum 2013 merupakan media untuk membentuk pola pikiran, pola perasaan
dan pola tingkah laku seorang siswa. Dari ketiga unsur itulah akan mental
seseorang dapat dibangun dengan baik, lurus dan mulia.
Tahun
ajaran baru kali ini merupakan tahun kedua pelaksanaan Kurikulum 2013
(selanjutnya disebut K-13). Sejauh ini belum banyak dipahami oleh masyarakat
luas apa beda kurikulum sekarang dibanding dengan yang dulu-dulu. Tahunya orang
tua hanya ganti buku, ganti model rapor dan ganti tema matapelajaran. Padahal
masyarakat perlu memahami perubahan kurikulum ini mengingat peran orang tua
sangat penting untuk mendampingi putra-putrinya belajar dan menjalin sinergitas
dengan guru untuk kesuksesan dan kelancaran study.
K-13
muncul dari dinamika dan tantangan dalam lingkungan lokal, nasional maupun
internasional. Di lingkungan lokal makin
merosotnya nilai-nilai kearifan lokal yang sudah tidak dipakai lagi dalam
interaksi sosial di masyarakat, padahal nilai-nilai tersebut terbukti ampuh
dalam mengawal tumbuh-kembangnya suatu masyarakat dan menjadi tuntunan bagi
terjaminnya harmonisasi interaksi antar individu dalam masyarakat tersebut.
Secara nasional persoalan perkelahian pelajar, mahasiswa, kelompok-kelompok di
masyarakat, antar suku, sudah demikian memprihatinkan. Termasuk dalam ketegori
ini kasus korupsi, hamil di luar nikah, minuman keras, narkoba, judi, dan
banyak lagi persoalan yang tiada kunjung selesai bahkan naik secara statistik.
Dalam perspektif global, tantangan kemajuan zaman yang tidak bisa diikuti
secara sinergis oleh bangsa Indonesia, percaturan bidang teknologi, budaya,
ekonomi bahkan persoalan keamanan wilayah perbatasan juga perlu pekerjaan rumah
tersendiri. Padahal pemerataan pendidikan semakin baik, keterjaminan anak-anak
untuk sekolah semakin meningkat, sarjana dan pascasarjana semakin banyak,
tetapi persoalan-persoalan di atas justru semakin tumbuh subur?.
Dulu zaman tahun 1920’an, sarjana
Indonesia masih sedikit, tapi mereka telah mampu mewujudkan persatuan dan
kesatuan dari Sabang sampai Merauke. Pada tahun 1940’an jumlah sarjana belum
ada 100 orang, tapi mereka telah mampu mengukir sejarah besar dengan
memproklamirkan Kemerdekaan bangsa ini. Lalu, apa yang telah diperbuat oleh
sekian juta sarjana dan pascasarjana sekarang bagi perubahan peradaban
Indonesia yang lebih maju? Apa yang salah dari pola pendidikan yang diterapkan
selama ini?
Berdasarkan analisis proses dan
produk pendidikan, ternyata pola pendidikan kita lebih mengutamakan aspek
kognitif (pengetahuan) semata, dibanding aspek afektif (sifat, sikap &
karakter) dan psikomotorik (keterampillan). Sebenarnya sejak lama amanat ketiga
domain itu disampaikan dan terkonfigurasi di dalam kurikulum, tetapi kurang
mendapat penekanan sehingga para pendidik dan penyelenggara pendidikan lebih
berkutat pada pengetahuan semata. Dalam kata lain, guru lebih sedih bila
anak-anak tidak dapat menjawab soal ujian tentang aspek-aspek yang menunjang
kebersihan, daripada anak-anak yang tidak dapat menjaga kebersihan di bawah
bangkunya, di kamar mandi sekolahnya, di halaman belakang sekolah, dan
sebagainya. Keberhasilan pendidikan anak didik hanya dilihat dari angka demi
angka hasil ujian. Profil seorang pelajar di Indonesia yang menginginkan
manusia Indonesia seutuhnya justru termozaik oleh kutub pengetahuan semata.
Maka itu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan segera meluncurkan produk
Kurikulum 2013 sebagai jawaban atas kegalauan di atas. Ini sebagai kelanjutan
dari kurikulum-kurikulum sebelumnya yang terus disempurnakan dari sisi-sisi
lain yang makin melengkapi.
Amanat yang pertama dari muatan kurikulum 2013 adalah pola pendidikan yang utuh tercermin dari pelaksanaan pembelajaran kognitif, afektif dan psikomotorik. Kalau dulu guru hanya wajib mengartikulasikan kompetensi anak didik pada aspek pengetahuan semata, sedangkan aspek sikap dan ketrampilan diincludekan dalam nilai pengetahuan, sehingga rapor siswa hanya berisi angka-angka tunggal dengan tulisan tinta hitam atau merah sebagai pembedanya. Namun sekarang ketiga domain harus muncul dalam penilaian dan tergambar jelas di rapor siswa. Dengan begitu orang tua tidak saja mengetahui capaian pengetahuan anak secara akademis, tetapi juga performa sikap spiritual dan sosialnya, bahkan tingkat keterampilan anak dalam tiap matapelajarannya. Orang tua tidak perlu lagi menduga-duga bagaimana sikap anaknya di sekolah terhadap matapelajaran yang diikuti, karena deskripsi yang dituliskan guru di kolom sikap sudah cukup lengkap mengelaborasi karakteristik siswa tersebut. Ini sebagai check and recheck terhadap keutuhan hasil belajar.
Amanat K-13 kedua adalah target kompetensi spiritual dan sosial lebih diprioritaskan dibanding pengetahuan dan keterampilan. Hal ini bukan berarti menganakemaskan aspek satu dan mengabaikan aspek yang lain, tetapi aspek kesadaran (Awarness) perlu dibangkitkan lagi dari dalam diri anak-anak sebagai produk awal dari interaksi belajar. Kesadaran semacam ini yang sekarang langka, karena banyak orang yang hanya pandai menampakkan pengetahuan dengan kemasan kata-kata indah dan high-context, tetapi tidak tercermin dalam perilakunya. Ambil contoh kasus perekayasa pajak yang merugikan negara ratusan juta rupiah, dimana orang yang bersangkutan telah dibelaki pengetahuan banyak tentang resiko dan aspek hukum dari perbuatan yang dilakukan, tetapi kesadaran akan mentaati hukum dan aturan itu yang sangat tipis. Contoh lain yaitu kasus seorang pakar hukum yang justru mencari celah diantara kelemahan pasal demi pasal dalam undang-undang untuk keuntungan pribadi. Untuk itu tidak berlebihan bila dalam amanat K-13 diharapkan guru mensetting pembelajarannya dengan efek pertama dan utama pada kedua sikap tersebut guna membangun mental yang baik untuk masa sekarang dan yang akan datang.
Amanat ketiga adalah penggunaan pendekatan saintifik pada setiap pembelajaran. Pendekatan yang dicetuskan oleh Dyer, J.H (2011) didasarkan pada pemikiran bahwa 2/3 dari kemampuan kreativitas seseorang diperoleh melalui pendidikan, sedang 1/3 sisanya berasal dari genetik/keturunan. Ini kebalikan pada kemampuan intelijensia seseorang yang hanya 1/3nya berasal dari pendidikan sedang 2/3 sisanya dari genetik/keturunan. Maka itu kemampuan kreativitas lebih dikedepankan daripada kemampuan intelejensia yang selama ini dijadikan rujukan. Dalam pembelajaran abad 21, kreativitas menempati fokus utama dalam kebutuhan belajar, karena dari aspek ini akan terlahir banyak ide, gagasan, pendapat, dan inovasi yang dapat dimanfaatkan dalam menjawab tantangan kemajuan zaman. Kemampuan kreativitas tersebut dapat diperoleh melalui kegiatan Observing (mengamati), Questioning (menanya), Associating (menalar), Experimenting (mencoba), dan Networking / Communication (Membentuk jejaring/ mengkomunikasikan). Inilah yang disebut sebagai pendekatan Saintifik. Pembelajaran berbasis intelejensia hanya menghasilkan peningkatan hasil belajar 50%, sedangkan pembelajaran berbasis kreativitas mampu menghasilkan peningkatan sampai 200%. Unsur kreativitas inilah yang sangat dibutuhkan bagi tantangan global saat ini. Unsur ini pula yang mampu mencetuskan ide seseorang untuk mencari jalan keluar dari permasalahan, tidak mudah menyerah terhadap keadaan, dan selalu memunculkan harapan dari setiap tindakan. Ini yang disebut mental baja, karena apapun keadaannya akan dapat dihadapi dengan memanfaatkan kreativitasnya.
Amanat yang pertama dari muatan kurikulum 2013 adalah pola pendidikan yang utuh tercermin dari pelaksanaan pembelajaran kognitif, afektif dan psikomotorik. Kalau dulu guru hanya wajib mengartikulasikan kompetensi anak didik pada aspek pengetahuan semata, sedangkan aspek sikap dan ketrampilan diincludekan dalam nilai pengetahuan, sehingga rapor siswa hanya berisi angka-angka tunggal dengan tulisan tinta hitam atau merah sebagai pembedanya. Namun sekarang ketiga domain harus muncul dalam penilaian dan tergambar jelas di rapor siswa. Dengan begitu orang tua tidak saja mengetahui capaian pengetahuan anak secara akademis, tetapi juga performa sikap spiritual dan sosialnya, bahkan tingkat keterampilan anak dalam tiap matapelajarannya. Orang tua tidak perlu lagi menduga-duga bagaimana sikap anaknya di sekolah terhadap matapelajaran yang diikuti, karena deskripsi yang dituliskan guru di kolom sikap sudah cukup lengkap mengelaborasi karakteristik siswa tersebut. Ini sebagai check and recheck terhadap keutuhan hasil belajar.
Amanat K-13 kedua adalah target kompetensi spiritual dan sosial lebih diprioritaskan dibanding pengetahuan dan keterampilan. Hal ini bukan berarti menganakemaskan aspek satu dan mengabaikan aspek yang lain, tetapi aspek kesadaran (Awarness) perlu dibangkitkan lagi dari dalam diri anak-anak sebagai produk awal dari interaksi belajar. Kesadaran semacam ini yang sekarang langka, karena banyak orang yang hanya pandai menampakkan pengetahuan dengan kemasan kata-kata indah dan high-context, tetapi tidak tercermin dalam perilakunya. Ambil contoh kasus perekayasa pajak yang merugikan negara ratusan juta rupiah, dimana orang yang bersangkutan telah dibelaki pengetahuan banyak tentang resiko dan aspek hukum dari perbuatan yang dilakukan, tetapi kesadaran akan mentaati hukum dan aturan itu yang sangat tipis. Contoh lain yaitu kasus seorang pakar hukum yang justru mencari celah diantara kelemahan pasal demi pasal dalam undang-undang untuk keuntungan pribadi. Untuk itu tidak berlebihan bila dalam amanat K-13 diharapkan guru mensetting pembelajarannya dengan efek pertama dan utama pada kedua sikap tersebut guna membangun mental yang baik untuk masa sekarang dan yang akan datang.
Amanat ketiga adalah penggunaan pendekatan saintifik pada setiap pembelajaran. Pendekatan yang dicetuskan oleh Dyer, J.H (2011) didasarkan pada pemikiran bahwa 2/3 dari kemampuan kreativitas seseorang diperoleh melalui pendidikan, sedang 1/3 sisanya berasal dari genetik/keturunan. Ini kebalikan pada kemampuan intelijensia seseorang yang hanya 1/3nya berasal dari pendidikan sedang 2/3 sisanya dari genetik/keturunan. Maka itu kemampuan kreativitas lebih dikedepankan daripada kemampuan intelejensia yang selama ini dijadikan rujukan. Dalam pembelajaran abad 21, kreativitas menempati fokus utama dalam kebutuhan belajar, karena dari aspek ini akan terlahir banyak ide, gagasan, pendapat, dan inovasi yang dapat dimanfaatkan dalam menjawab tantangan kemajuan zaman. Kemampuan kreativitas tersebut dapat diperoleh melalui kegiatan Observing (mengamati), Questioning (menanya), Associating (menalar), Experimenting (mencoba), dan Networking / Communication (Membentuk jejaring/ mengkomunikasikan). Inilah yang disebut sebagai pendekatan Saintifik. Pembelajaran berbasis intelejensia hanya menghasilkan peningkatan hasil belajar 50%, sedangkan pembelajaran berbasis kreativitas mampu menghasilkan peningkatan sampai 200%. Unsur kreativitas inilah yang sangat dibutuhkan bagi tantangan global saat ini. Unsur ini pula yang mampu mencetuskan ide seseorang untuk mencari jalan keluar dari permasalahan, tidak mudah menyerah terhadap keadaan, dan selalu memunculkan harapan dari setiap tindakan. Ini yang disebut mental baja, karena apapun keadaannya akan dapat dihadapi dengan memanfaatkan kreativitasnya.
Amanat keempat adalah penerapan
model pembelajaran Discovery Learning
(DL), Problem Based Learning (PBL)
dan Project Based Learning (PjBL). Ketiga
model ini lebih menekankan kepada aktivitas siswa sebagai subyek belajar dan
meminimalisasi dominasi guru di dalam kelas. Dengan porsi yang lebih besar
diperankan oleh siswa, akan membentuk karakter yang kuat karena selalu
didedahkan dengan ekplorasi permasalahan, menemukan solusi dan memberikan
rekomendasi atas hasil pemikirannya. DL memberikan keleluasaan siswa untuk
menggali pengetahuan sendiri dari aktivitas observasi, koleksi, klasifikasi,
prediksi, verifikasi, dan generalisasi yang menuntun siswa menemukan sendiri
pengetahuannya. PBL mendekatkan siswa pada masalah kontekstual sehingga
merangsang siswa untuk bekerja memecahkan masalah dunia nyata dari
persoalan-persoalan yang tengah mengemuka di masyarakat tetapi sinergis dengan
pembahasan tema yang ada dalam matapelajaran. PjBL merupakan model belajar yang
menugaskan siswa menggunakan project sebagai
media, sehingga siswa berkesempatan untuk melakukan eksplorasi, interpretasi,
evaluasi, dan konklusi selama tahap pembelajarannya. Dengan atmosfir yang
dikondisikan pada pembelajaran-pembelajaran model tersebut di atas akan
membangun mental kerja yang baik bagi anak didik. Bekerja tidak lagi hanya
terfokus pada rutinitas semata, tetapi pada kekaryaan dan produktivitas yang
dihasilkan.
Amanat
kelima adalah Penilaian Autentik yang memberikan kesempatan bagi siswa untuk
dinilai berbagi aspek yang ada dalam dirinya. Penilaian ini juga memungkinkan
siswa dapat menunjukkan kemampuannya dalam menyelesaikan tugas, serta
mengekspresikan modal pengetahuan dan keterampilannya. Dengan demikian tidak
ada aktivitas siswa yang luput dari pengamatan dan penilaian guru. Hal ini
memberikan pengaruh berbeda antara siswa yang aktif dan tidak aktif. Bagi yang
aktif, penilaian model ini mendukung performa yang diekspresikan selama
pembelajaran, sehingga merasa berarti dan dihargai dari setiap karya yang
dihasilkan. Sementara bagi siswa yang tidak aktif, penilaian model ini bisa
menjadi motivasi dan dorongan untuk terus-menerus melakukan karya yang mungkin
belum dapat dicapai dalam proses pembelajaran, baik dari sisi pengetahuan,
sikap dan ketrampilan. Alhasil penilaian komprehensif semacam ini bak CCTV bagi
siswa, membangun mental pengawasan yang baik bagi dirinya, karena semua
aktivitas yang dilakukannya tidak ada yang luput dari penilaian sehingga memicu
dan memacu produktivitas yang optimal.
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa K-13 merupakan kurikulum mutakhir yang
memberikan peluang bagi siswa untuk mengembangkan eksistensi diri seluas
mungkin, melalui bimbingan guru sebagai fasilitator akan mengasah pengetahuan,
melatih ketrampilan dan memunculkan sikap spiritual serta sikap sosial yang
mulia sebagai bekal dalam menghadapi dunia karirnya di masa depan. Dengan
penerapan K-13 ini diharapkan terlahir putra-putri terbaik bangsa, yang
berakhlak mulia, berpengetahuan luas, dan terampil dalam segala bidang, yang
dapat membawa Indonesia menjadi bangsa yang makmur dalam berkeadilan dan adil
dalam kemakmuran, serta disegani oleh bangsa-bangsa lain di dunia.
*)Dosen Universitas Jember, mahasiswa doktoral pasca
sarjana UM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar