Senin, 12 Januari 2015

KURIKULUM 2013 MENDUKUNG REVOLUSI MENTAL

Oleh: Drs. Slamet Hariyadi, M.Si*)

            Sejarah baru bangsa ini telah dimulai, presiden ketujuh telah ditetapkan dengan pasti oleh Mahkamah Konstitusi yakni Joko Widodo dengan wakil presiden Jusuf Kalla. Program kerja utama yang pernah dicanangkan adalah revolusi mental. Tantangan pemerintahan kedepan cukup berat menghadapi persaingan global, sementara masyarakat Indonesia dirasa belum cukup siap untuk face-to-face berkompetisi dengan negara-negara yang akan masuk menanamkan investasi di Indonesia. Sekedar diketahui bahwa tahun 2013 kemarin HDI (Human Development Index) menduduki peringkat ke-121 dari 186 negara dengan point 0.629, menempati kelas Medium Human Development.  Padahal sumberdaya manusia merupakan aset paling strategis bagi suatu negara karena bukan saja sebagai comparative advantages melainkan juga sebagai competitive advantages. Hal ini disebabkan kemajuan suatu bangsa dan negara bukan hanya bertumpu pada ketersediaan sumberdaya alam (natural resources) semata, namun juga ditentukan oleh kualitas sumberdaya manusianya (human resources). Untuk itu  dibutuhkan daya dorong yang efektif guna membangkitkan sikap mental yang tangguh, daya kreasi yang tinggi dan keterampilan yang kompetitif.
            Berkaitan dengan hal ini, pemerintah sejak tahun 2013 telah menerapkan Kurikulum baru bagi sekolah. Ada harapan besar kurikulum ini bersinergis dengan program revolusi mental, mengingat salah satu pilar bangsa adalah para pemuda yang kelak akan memimpin bangsa ini.  Disamping itu pembenahan mental yang dilakukan melalui implementasi kurikulum di sekolah akan efektif kepada tiap individu di masyarakat mengingat hampir setiap keluarga selalu ada unsur anggotanya yang duduk dibangku sekolah. Diharapkan hal ini memberikan pengaruh lingkungan yang kondusif dan multiplayer effect bagi masyarakat luas guna mendukung revolusi mental yang akan dijalankan pemerintah. Muatan-muatan dalam kurikulum 2013 merupakan media untuk membentuk pola pikiran, pola perasaan dan pola tingkah laku seorang siswa. Dari ketiga unsur itulah akan mental seseorang dapat dibangun dengan baik, lurus dan mulia.
            Tahun ajaran baru kali ini merupakan tahun kedua pelaksanaan Kurikulum 2013 (selanjutnya disebut K-13). Sejauh ini belum banyak dipahami oleh masyarakat luas apa beda kurikulum sekarang dibanding dengan yang dulu-dulu. Tahunya orang tua hanya ganti buku, ganti model rapor dan ganti tema matapelajaran. Padahal masyarakat perlu memahami perubahan kurikulum ini mengingat peran orang tua sangat penting untuk mendampingi putra-putrinya belajar dan menjalin sinergitas dengan guru untuk kesuksesan dan kelancaran study.
            K-13 muncul dari dinamika dan tantangan dalam lingkungan lokal, nasional maupun internasional.  Di lingkungan lokal makin merosotnya nilai-nilai kearifan lokal yang sudah tidak dipakai lagi dalam interaksi sosial di masyarakat, padahal nilai-nilai tersebut terbukti ampuh dalam mengawal tumbuh-kembangnya suatu masyarakat dan menjadi tuntunan bagi terjaminnya harmonisasi interaksi antar individu dalam masyarakat tersebut. Secara nasional persoalan perkelahian pelajar, mahasiswa, kelompok-kelompok di masyarakat, antar suku, sudah demikian memprihatinkan. Termasuk dalam ketegori ini kasus korupsi, hamil di luar nikah, minuman keras, narkoba, judi, dan banyak lagi persoalan yang tiada kunjung selesai bahkan naik secara statistik. Dalam perspektif global, tantangan kemajuan zaman yang tidak bisa diikuti secara sinergis oleh bangsa Indonesia, percaturan bidang teknologi, budaya, ekonomi bahkan persoalan keamanan wilayah perbatasan juga perlu pekerjaan rumah tersendiri. Padahal pemerataan pendidikan semakin baik, keterjaminan anak-anak untuk sekolah semakin meningkat, sarjana dan pascasarjana semakin banyak, tetapi persoalan-persoalan di atas justru semakin tumbuh subur?.
Dulu zaman tahun 1920’an, sarjana Indonesia masih sedikit, tapi mereka telah mampu mewujudkan persatuan dan kesatuan dari Sabang sampai Merauke. Pada tahun 1940’an jumlah sarjana belum ada 100 orang, tapi mereka telah mampu mengukir sejarah besar dengan memproklamirkan Kemerdekaan bangsa ini. Lalu, apa yang telah diperbuat oleh sekian juta sarjana dan pascasarjana sekarang bagi perubahan peradaban Indonesia yang lebih maju? Apa yang salah dari pola pendidikan yang diterapkan selama ini?
Berdasarkan analisis proses dan produk pendidikan, ternyata pola pendidikan kita lebih mengutamakan aspek kognitif (pengetahuan) semata, dibanding aspek afektif (sifat, sikap & karakter) dan psikomotorik (keterampillan). Sebenarnya sejak lama amanat ketiga domain itu disampaikan dan terkonfigurasi di dalam kurikulum, tetapi kurang mendapat penekanan sehingga para pendidik dan penyelenggara pendidikan lebih berkutat pada pengetahuan semata. Dalam kata lain, guru lebih sedih bila anak-anak tidak dapat menjawab soal ujian tentang aspek-aspek yang menunjang kebersihan, daripada anak-anak yang tidak dapat menjaga kebersihan di bawah bangkunya, di kamar mandi sekolahnya, di halaman belakang sekolah, dan sebagainya. Keberhasilan pendidikan anak didik hanya dilihat dari angka demi angka hasil ujian. Profil seorang pelajar di Indonesia yang menginginkan manusia Indonesia seutuhnya justru termozaik oleh kutub pengetahuan semata. Maka itu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan segera meluncurkan produk Kurikulum 2013 sebagai jawaban atas kegalauan di atas. Ini sebagai kelanjutan dari kurikulum-kurikulum sebelumnya yang terus disempurnakan dari sisi-sisi lain yang makin melengkapi.
Amanat yang pertama dari muatan kurikulum 2013 adalah pola pendidikan yang utuh tercermin dari pelaksanaan pembelajaran kognitif, afektif dan psikomotorik. Kalau dulu guru hanya wajib mengartikulasikan kompetensi anak didik pada aspek pengetahuan semata, sedangkan aspek sikap dan ketrampilan diincludekan dalam nilai pengetahuan, sehingga rapor siswa hanya berisi angka-angka tunggal dengan tulisan tinta hitam atau merah sebagai pembedanya. Namun sekarang ketiga domain harus muncul dalam penilaian dan tergambar jelas di rapor siswa. Dengan begitu orang tua tidak saja mengetahui capaian pengetahuan anak secara akademis, tetapi juga performa sikap spiritual dan sosialnya, bahkan tingkat keterampilan anak dalam tiap matapelajarannya.  Orang tua tidak perlu lagi menduga-duga bagaimana sikap anaknya di sekolah terhadap matapelajaran yang diikuti, karena deskripsi yang dituliskan  guru di kolom sikap sudah cukup lengkap mengelaborasi karakteristik siswa tersebut. Ini sebagai check and recheck terhadap keutuhan hasil belajar.
Amanat K-13 kedua adalah target kompetensi spiritual dan sosial lebih diprioritaskan dibanding pengetahuan dan keterampilan. Hal ini bukan berarti menganakemaskan aspek satu dan mengabaikan aspek yang lain, tetapi aspek kesadaran (Awarness) perlu dibangkitkan lagi dari dalam diri anak-anak sebagai produk awal dari interaksi belajar. Kesadaran semacam ini yang sekarang langka, karena banyak orang yang hanya pandai menampakkan pengetahuan dengan kemasan kata-kata indah dan high-context, tetapi tidak tercermin dalam perilakunya. Ambil contoh kasus perekayasa pajak  yang merugikan negara ratusan juta rupiah, dimana orang yang bersangkutan telah dibelaki pengetahuan banyak tentang resiko dan aspek hukum dari perbuatan yang dilakukan, tetapi kesadaran akan mentaati hukum dan aturan itu yang sangat tipis. Contoh lain yaitu kasus seorang pakar hukum yang justru mencari celah diantara kelemahan pasal demi pasal dalam undang-undang untuk keuntungan pribadi. Untuk itu tidak berlebihan bila dalam amanat K-13 diharapkan guru mensetting pembelajarannya dengan efek pertama dan utama pada kedua sikap tersebut guna membangun mental yang baik untuk masa sekarang dan yang akan datang.
Amanat ketiga adalah penggunaan pendekatan saintifik pada setiap pembelajaran. Pendekatan yang dicetuskan oleh Dyer, J.H (2011) didasarkan pada pemikiran bahwa 2/3 dari kemampuan kreativitas seseorang diperoleh melalui pendidikan, sedang 1/3 sisanya berasal dari genetik/keturunan. Ini kebalikan pada kemampuan intelijensia seseorang yang hanya 1/3nya berasal dari pendidikan sedang 2/3 sisanya dari genetik/keturunan. Maka itu kemampuan kreativitas lebih dikedepankan daripada kemampuan intelejensia yang selama ini dijadikan rujukan. Dalam pembelajaran abad 21, kreativitas menempati fokus utama dalam kebutuhan belajar, karena dari aspek ini akan terlahir banyak ide, gagasan, pendapat, dan inovasi yang dapat dimanfaatkan dalam menjawab tantangan kemajuan zaman. Kemampuan kreativitas tersebut dapat diperoleh melalui kegiatan  Observing (mengamati), Questioning (menanya), Associating (menalar), Experimenting (mencoba), dan Networking / Communication (Membentuk jejaring/ mengkomunikasikan). Inilah yang disebut sebagai pendekatan Saintifik.  Pembelajaran berbasis intelejensia hanya menghasilkan peningkatan hasil belajar 50%, sedangkan pembelajaran berbasis kreativitas mampu menghasilkan peningkatan sampai 200%. Unsur kreativitas inilah yang sangat dibutuhkan bagi tantangan global saat ini. Unsur ini pula yang mampu mencetuskan ide seseorang untuk mencari jalan keluar dari permasalahan, tidak mudah menyerah terhadap keadaan, dan selalu memunculkan harapan dari setiap tindakan. Ini yang disebut mental baja, karena apapun keadaannya akan dapat dihadapi dengan memanfaatkan kreativitasnya.
Amanat keempat adalah penerapan model pembelajaran Discovery Learning (DL), Problem Based Learning (PBL) dan Project Based Learning (PjBL). Ketiga model ini lebih menekankan kepada aktivitas siswa sebagai subyek belajar dan meminimalisasi dominasi guru di dalam kelas. Dengan porsi yang lebih besar diperankan oleh siswa, akan membentuk karakter yang kuat karena selalu didedahkan dengan ekplorasi permasalahan, menemukan solusi dan memberikan rekomendasi atas hasil pemikirannya. DL memberikan keleluasaan siswa untuk menggali pengetahuan sendiri dari aktivitas observasi, koleksi, klasifikasi, prediksi, verifikasi, dan generalisasi yang menuntun siswa menemukan sendiri pengetahuannya. PBL mendekatkan siswa pada masalah kontekstual sehingga merangsang siswa untuk bekerja memecahkan masalah dunia nyata dari persoalan-persoalan yang tengah mengemuka di masyarakat tetapi sinergis dengan pembahasan tema yang ada dalam matapelajaran. PjBL merupakan model belajar yang menugaskan siswa menggunakan project sebagai media, sehingga siswa berkesempatan untuk melakukan eksplorasi, interpretasi, evaluasi, dan konklusi selama tahap pembelajarannya. Dengan atmosfir yang dikondisikan pada pembelajaran-pembelajaran model tersebut di atas akan membangun mental kerja yang baik bagi anak didik. Bekerja tidak lagi hanya terfokus pada rutinitas semata, tetapi pada kekaryaan dan produktivitas yang dihasilkan.
            Amanat kelima adalah Penilaian Autentik yang memberikan kesempatan bagi siswa untuk dinilai berbagi aspek yang ada dalam dirinya. Penilaian ini juga memungkinkan siswa dapat menunjukkan kemampuannya dalam menyelesaikan tugas, serta mengekspresikan modal pengetahuan dan keterampilannya. Dengan demikian tidak ada aktivitas siswa yang luput dari pengamatan dan penilaian guru. Hal ini memberikan pengaruh berbeda antara siswa yang aktif dan tidak aktif. Bagi yang aktif, penilaian model ini mendukung performa yang diekspresikan selama pembelajaran, sehingga merasa berarti dan dihargai dari setiap karya yang dihasilkan. Sementara bagi siswa yang tidak aktif, penilaian model ini bisa menjadi motivasi dan dorongan untuk terus-menerus melakukan karya yang mungkin belum dapat dicapai dalam proses pembelajaran, baik dari sisi pengetahuan, sikap dan ketrampilan. Alhasil penilaian komprehensif semacam ini bak CCTV bagi siswa, membangun mental pengawasan yang baik bagi dirinya, karena semua aktivitas yang dilakukannya tidak ada yang luput dari penilaian sehingga memicu dan memacu produktivitas yang optimal.
            Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa K-13 merupakan kurikulum mutakhir yang memberikan peluang bagi siswa untuk mengembangkan eksistensi diri seluas mungkin, melalui bimbingan guru sebagai fasilitator akan mengasah pengetahuan, melatih ketrampilan dan memunculkan sikap spiritual serta sikap sosial yang mulia sebagai bekal dalam menghadapi dunia karirnya di masa depan. Dengan penerapan K-13 ini diharapkan terlahir putra-putri terbaik bangsa, yang berakhlak mulia, berpengetahuan luas, dan terampil dalam segala bidang, yang dapat membawa Indonesia menjadi bangsa yang makmur dalam berkeadilan dan adil dalam kemakmuran, serta disegani oleh bangsa-bangsa lain di dunia.


*)Dosen Universitas Jember, mahasiswa doktoral pasca sarjana UM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar