Sudah menjadi lumrah di Indonesia dimana orang menyebutkan hari dalam dua dimensi berbeda saat malam hari. Contoh seperti menyebutkan Kamis Malam, beberapa orang lebih suka menyebutkan dengan Malam Jumat. Apa bedanya?
Dalam perspektif waktu, keduanya masuk dalam rentang yang sama, yakni setelah Maghrib sampai tengah malam. Namun dasar dari kedua penyebutan yang berbeda. Untuk istilah kamis malam, dasar penyebutannya lebih kepada Kalender Masehi, dimana permulaan hari dimulai tengah malam yakni jam 00.00 (24.00/12.00 am). Dengan demikian, setelah maghrib tiba, nama hari belum berganti dan masih hari yang sama dengan siangnya, misalnya kamis. Tetapi yang menyebutkan malam jumat, lebih didasarkan pada Kalender Hijriyah, dimana permulaan hari dimulai setelah waktu maghrib, saat tergelincirnya matahari (ingat, permulaan 1 ramadhan, permulaan 1 syawal di hari raya idul fitri, dsb selalu ditentukan saat maghrib tiba). Dengan dasar itu, setelah maghrib sudah berganti hari, misalnya siangnya kamis maka malamnya sudah jumat, sehingga orang menyebut sebagai malam jumat. Dalam kalender jawa malah lebih awal lagi, karena pergantian hari & weton dimulai setelah waktu ashar. Bilamana siangnya hari kamis wage, maka setelah ashar sudah masuk waktu jumat kliwon.
SLAMET HARIYADI
Jumat, 19 Mei 2017
Kamis, 30 April 2015
Nikmatnya Kopi dan Rasa
Saya pernah menunjukkan sebuah Teko dan menanyakan kepada sekelompok mahasiswa: "Siapa yang tahu, apa isi Teko ini?". Beberapa mencoba menebak teh, kopi, air, malah ada yg menebak kosong. Sy lanjutkan pertanyaan: "Bagaimana cara tahu isi Teko ini?". Mereka sepakat menjawab dengan menuangkan isi Teko. Nah ! saya menegaskan: Kalau apa yang dituangkan Teko menunjukkan isinya, maka demikian juga apa yang dikatakan oleh seseorang, apa yang mereka tulis juga adalah cermin isi pikiran dan hatinya.
Pertanyaan kedua: "Andai isi Teko itu adalah Kopi, bgm cara tahu kalau Kopi ini enak atau tidak?". Yah, mahasiswa banyak yang berpendapat dengan cara mencicipi atau meminumnya. Kalau Kopinya berkualitas pasti terasa nikmat.
Sy tegaskan: kalau nikmatnya kopi dirasakan dengan lidah, makanya enaknya sebuah omongan dirasakan dengan hati. Bila pernyataan itu berkualitas, maka akan membuat hati menjadi nyaman, baik untuk masa kini atau yang akan datang.
Pertanyaan kedua: "Andai isi Teko itu adalah Kopi, bgm cara tahu kalau Kopi ini enak atau tidak?". Yah, mahasiswa banyak yang berpendapat dengan cara mencicipi atau meminumnya. Kalau Kopinya berkualitas pasti terasa nikmat.
Sy tegaskan: kalau nikmatnya kopi dirasakan dengan lidah, makanya enaknya sebuah omongan dirasakan dengan hati. Bila pernyataan itu berkualitas, maka akan membuat hati menjadi nyaman, baik untuk masa kini atau yang akan datang.
Selasa, 24 Februari 2015
Urip Koyo Mung Mampir Ngombe (Hidup Seperti Mampir Untuk Minum Semata)
"1 HARI DI AKHIRAT SAMA DENGAN 1000 TAHUN DI DUNIA !!!"
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :
وَإِنَّ يَوْمًا عِنْدَ رَبِّكَ كَأَلْفِ سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّونَ
Artinya:
Sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitungan kamu.(QS. Al Hajj: 47)
Atau dalam Firman-Nya yang lain:
Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya seribu tahun menurut perhitunganmu. (QS. As-Sajadah :5)
Mari kita hitung secara sederhana:
1 hari = 1.000 tahun
24 jam = 1.000 tahun
Kalau umur menurut Nabi Muhammad 63 tahun saja maka (63/1.000) x 24 = 1,512 (dibulatkan 1,5 jam).
Jadi......umur yang 63 tahun sebenarnya hanya 1,5 jam dalam pandangan Tuhan, seperti orang mampir ngopi aja.
Lihatlah orang mimpi, kalau ia mimpi yang tidak nyaman saat bangun ia bersyukur karena dalam kehidupan nyatanya ia lebih nyaman dari mimpinya. Tapi kalau ia mimpi nyaman, maka saat bangun ia kecewa karena ternyata cuma mimpi yang sebentar. So.....bila waktu di dunia ini anda lebih banyak berfoya-foya daripada beribadah, maka saat terbangun dari alam kubur seperti bangun dari mimpi, ternyata hidup yang haikiki adalah hidup setelah mati.
Sabtu, 21 Februari 2015
Tuhan itu Maha Baik
Mintalah, maka Tuhan Pasti akan Mengabulkan......
Seorang Ayah mempunyai anak masih duduk di bangku SMA.
I- Saat anaknya meminta dibelikan Ballpoint untuk kepentingan sekolah, Ayahnya langsung membelikan
II- Saat anaknya minta melanjutkan kuliah ke kota X, Ayahnya menolak tapi memberinya alternatif ke kota Y
III- Saat anaknya meminta menikah, Ayahnya tidak mengabulkan tetapi mempertimbangkan nanti setelah ia bekerja
Ayahnya tidak selalu memberikan permintaan anaknya tetapi selalu mengabulkan apa yang dimaksudkan dengan caranya:
- Saat sang anak meminta ballpoint, segera dikabulkan saat itu juga karena itu hal penting dalam aktivitasnya sebagai pelajar.
- Saat sang anak meminta melanjutkan kuliah ke kota X, Ayahnya mengabulkan dalam bentuk lain, yaitu mengabulkan ke kota Y, karena Ayahnya paham bahwa kota X lingkungannya kurang baik, banyak kasus narkoba, free sex dan kasus-kasus non-akademis yang akan mempengaruhi lingkungan belajarnya kelak.
- Saat sang anak meminta menikah, Ayahnya akan mengabulkan pada saatnya nanti dia sudah cukup siap secara lahir batin, hanya menunda waktu.
Mungkin dihadapan anak, Ayahnya adalah seorang yang tidak bisa memenuhi segala keinginannya, tidak menunjukkan rasa kasih sayang, tidak pandai menyenangkan anak. Bagi Ayah, semua permintaan anaknya sebenarnya baik, tetapi kadang didasari oleh emosi semata, hawa nafsu untuk mencapai kesenangan. Ayahnya berusaha memenuhi MAKSUD permohonan anaknya, tetapi bukan mengabulkan SESUAI apa yang diminta anaknya, karena Ayahnya mempertimbangkan kebaikan dan keselamatannya.
Permintaan ada yang dikabulkan, ada yang dialihkan, dan ada yang ditunda sampai waktu yang tepat. Demikian juga dengan Doa
Begitu kira-kira analog tentang kejadian permintaan kita di hadapan Tuhan
Seorang Ayah mempunyai anak masih duduk di bangku SMA.
I- Saat anaknya meminta dibelikan Ballpoint untuk kepentingan sekolah, Ayahnya langsung membelikan
II- Saat anaknya minta melanjutkan kuliah ke kota X, Ayahnya menolak tapi memberinya alternatif ke kota Y
III- Saat anaknya meminta menikah, Ayahnya tidak mengabulkan tetapi mempertimbangkan nanti setelah ia bekerja
Ayahnya tidak selalu memberikan permintaan anaknya tetapi selalu mengabulkan apa yang dimaksudkan dengan caranya:
- Saat sang anak meminta ballpoint, segera dikabulkan saat itu juga karena itu hal penting dalam aktivitasnya sebagai pelajar.
- Saat sang anak meminta melanjutkan kuliah ke kota X, Ayahnya mengabulkan dalam bentuk lain, yaitu mengabulkan ke kota Y, karena Ayahnya paham bahwa kota X lingkungannya kurang baik, banyak kasus narkoba, free sex dan kasus-kasus non-akademis yang akan mempengaruhi lingkungan belajarnya kelak.
- Saat sang anak meminta menikah, Ayahnya akan mengabulkan pada saatnya nanti dia sudah cukup siap secara lahir batin, hanya menunda waktu.
Mungkin dihadapan anak, Ayahnya adalah seorang yang tidak bisa memenuhi segala keinginannya, tidak menunjukkan rasa kasih sayang, tidak pandai menyenangkan anak. Bagi Ayah, semua permintaan anaknya sebenarnya baik, tetapi kadang didasari oleh emosi semata, hawa nafsu untuk mencapai kesenangan. Ayahnya berusaha memenuhi MAKSUD permohonan anaknya, tetapi bukan mengabulkan SESUAI apa yang diminta anaknya, karena Ayahnya mempertimbangkan kebaikan dan keselamatannya.
Permintaan ada yang dikabulkan, ada yang dialihkan, dan ada yang ditunda sampai waktu yang tepat. Demikian juga dengan Doa
Begitu kira-kira analog tentang kejadian permintaan kita di hadapan Tuhan
Minggu, 18 Januari 2015
Lelaki itu untuk Perempuan, dan Perempuan hanya untuk Perempuan
Pada waktu kita membaca pengumuman bahwa jumlah "mahasiswa" dalam suatu lembaga pendidikan berjumlah 200 orang, itu berarti terdiri dari mahasiswa laki-laki dan perempuan. Tetapi bila ada pengumuman bahwa "mahasiswi" diwajibkan berjilbab, maka hanya ditujukan untuk yang perempuan.
Pada waktu ada kalimat "Semoga Menjadi Haji yang mabrur", maka kata Haji itu pasti ditujukan untuk Bapak dan Ibu yang berangkat menunaikan ibadah tersebut, tetapi bila ada kalimat "Ibu Hajjah Mariah diangkat sebagai Kepala Sekolah", maka kata Hajjah itu hanya ditujukan pada kaum ibu-ibu saja.
Pada waktu dikumandangkan "Sumpah Pemuda", pasti didalam kata tersebut mengandung unsur Pemudi. Tetapi bila ada berita "Pemudi di daerah Jember yang putus sekolah, hampir semua bekerja di Pabrik Rokok", maka kata pemudi hanya menujuk pada para perempuan muda saja.
Saat seorang lelaki shalat sendiri, lalu datanglah seorang perempuan, maka ia bisa berdiri di belakangnya dan menjami makmum, sehingga shalat itu milik bersama (jama'ah), tetapi bila seorang perempuan shalat sendiri, lalu datang seorang laki-laki, maka itu tak bisa ikut dibelakangnya, karena shalat perempuan dengan siatuasi seperti itu hanya untuk dirinya, atau kawan perempuan lainnya.
So......Bila ada seorang isri yang bekerja dan mengatakan kepada suaminya: "Uangmu adalah Uangku, dan Uangku adalah Uangku saja", maka.......permaklumkanlah ! Itulah dunia perempuan
Pada waktu ada kalimat "Semoga Menjadi Haji yang mabrur", maka kata Haji itu pasti ditujukan untuk Bapak dan Ibu yang berangkat menunaikan ibadah tersebut, tetapi bila ada kalimat "Ibu Hajjah Mariah diangkat sebagai Kepala Sekolah", maka kata Hajjah itu hanya ditujukan pada kaum ibu-ibu saja.
Pada waktu dikumandangkan "Sumpah Pemuda", pasti didalam kata tersebut mengandung unsur Pemudi. Tetapi bila ada berita "Pemudi di daerah Jember yang putus sekolah, hampir semua bekerja di Pabrik Rokok", maka kata pemudi hanya menujuk pada para perempuan muda saja.
Saat seorang lelaki shalat sendiri, lalu datanglah seorang perempuan, maka ia bisa berdiri di belakangnya dan menjami makmum, sehingga shalat itu milik bersama (jama'ah), tetapi bila seorang perempuan shalat sendiri, lalu datang seorang laki-laki, maka itu tak bisa ikut dibelakangnya, karena shalat perempuan dengan siatuasi seperti itu hanya untuk dirinya, atau kawan perempuan lainnya.
So......Bila ada seorang isri yang bekerja dan mengatakan kepada suaminya: "Uangmu adalah Uangku, dan Uangku adalah Uangku saja", maka.......permaklumkanlah ! Itulah dunia perempuan
Senin, 12 Januari 2015
Menakar Manfaat Kehadiran PTN di Banyuwangi
Slamet Hariyadi*
Pembukaan
Perguruan Tinggi Negeri ketiga di Banyuwangi setelah Politeknik Negeri
Banyuwangi (Poliwangi) dan Sekolah Pilot Loka Pendidikan dan Pelatihan
Penerbang Banyuwangi (LP3B) telah menimbulkan silang pendapat
yang berkepanjangan. Ada banyak yang khawatir terhadap adanya pasal pelanggaran
aturan, disusul lagi tensi kompetisi yang signifikan diantara para
penyelenggara pendidikan di tingkat lokal, membuat persoalan ini berkelanjutan.
Apalagi Universitas Airlangga (UNAIR) sebagai pihak yang ditunjuk Pemerintah
Daerah merupakan Perguruan Tinggi Negeri The
Best Ten di Indonesia, membuat pelaku penyelenggara pendidikan berpikir dua
kali untuk bersaing di level yang sama. Namun setelah ditandatanganinya MoU oleh Bupati Banyuwangi dan Rektor UNAIR,
disaksikan Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendikbud dan Ketua DPRD Banyuwangi pada 10 Juni 2014 lalu,
mari kita analisis bersama untuk menakar manfaat kehadiran PTN di Banyuwangi.
Persoalan pertama adalah kekhawatiran
PTS mengalami penurunan pendaftar akibat hadirnya PTN besar di Banyuwangi.
Kalaupun perasaan ini sempat muncul masih dalam pemikiran yang wajar tetapi perlu
didiskusikan lagi, mengingat segmentasi calon mahasiswa yang akan masuk UNAIR tidak
sama dengan segmentasi yang akan memilih PTS di Banyuwangi. Calon mahasiswa
dengan prestasi dan nilai yang memadai tentunya yang berani masuk ke UNAIR
karena passing-grade di jurusan-jurusan
pilihan yang ada menuntut pencapaian nilai yang tinggi pula, baik dari sisi kualifikasi sekolah asal, prestasi
akademik atau non akademik yang dicapai selama di bangku sekolah pada SNM-PTN,
maupun nilai test masuk yang diraih pada
SBM-PTN. Dengan demikian masih banyak
peluang PTS Banyuwangi untuk menampung calon mahasiswa yang tidak termasuk
dalam kategori tersebut, baik secara langsung mendaftar setelah lulus maupun
setelah tidak diterima di PTN yang dituju. Bila kita hitung secara kasar,
jumlah siswa lulusan sekolah menengah atas SMA, SMK dan MA di Banyuwangi
sekitar 15 ribu-an. Dari jumlah tersebut bila meminjam Angka Partisipasi Kasar (APK)
perguruan tinggi lebih kurang 20%, maka ada 3.000-an anak yang melanjutkan
kuliah. Dengan daya tampung UNAIR Banyuwangi 200 orang untuk penerimaan
mahasiswa tahun ini, masih banyak peluang bagi PTS untuk meraih mahasiswa dari
putra daerah. Jumlah inipun belum tentu
diisi oleh siswa dari Banyuwangi semua, paling tidak hanya 30%-50% atau sekitar
60-100 orang saja.
Persoalan lain adalah tentang jurusan-jurusan
tertentu yang dibuka oleh UNAIR seperti Kedokteran Hewan dan Kesehatan
Masyarakat yang tidak secara langsung berkompetisi dengan jurusan-jurusan yang
sudah berkembang di Banyuwangi. Sebenarnya semakin banyak macam jurusan yang
dibuka akan semakin memperluas cakupan mahasiswa yang hadir dan sekolah di
Banyuwangi. Ini salah satu modal dasar terbentuknya kota pendidikan. Disisi lain dengan adanya kedua jurusan
rumpun kesehatan ini mungkin dapat menjadi akses bagi lembaga atau instansi
kesehatan seperti Rumah Sakit dan Dinas Kesehatan Kabupaten Banyuwangi untuk
bekerjasama dengan Fakultas Kedokteran UNAIR yang terkenal baik dan menjadi
rujukan se-Indonesia. Akan halnya jurusan Budidaya Perairan dan Akuntansi yang ternyata
sama dengan jurusan yang sudah ada, dapat dijadikan benchmark bagi PTS di Banyuwangi untuk mengawal kualitas jurusannya
sendiri sehingga bisa diajak kerjasama untuk meningkatkan performa. Sejumlah PTS
di Banyuwangi perlu mempunyai benchmark untuk
meningkatkan kualitas pembelajaran, penelitian dan kegiatan akademis lainnya
agar dapat berdiri sejajar dengan Perguruan Tinggi Negeri seperti yang
ditunjukkan oleh Universitas Muhammadiyah Malang, Universitas Petra Surabaya,
Universitas Guna Dharma karena secara psikologis kehadiran lembaga qualified yang dekat secara geografis akan
memacu pembenahan manajemen di segala sisi.
Manfaat lain dari kehadiran PTN di
kota gandrung ini, menjadikan Banyuwangi sebagai kota pelajar, yang akan
mengundang calon mahasiswa dari berbagai kota dan propinsi di Indonesia untuk datang,
sehingga perkembangan ini akan menghidupkan PTS-PTS untuk menjadi alternatif,
seperti halnya yang terjadi di kota Yogyakarta, Jakarta, Bandung, Surabaya dan
kota-kota pelajar lainnya. Hadirnya UNAIR justru menjadi magnet yang memperluas
akses Banyuwangi untuk menerima mahasiswa dari seluruh Indonesia, sehingga
menguntungkan Banyuwangi dari sisi
ekonomi dan budaya. Dari sisi ekonomi, terjadi arus dana yang cukup signifikan
dari Kementerian Pendidikan dan kebudyaan di PTN yang dimaksud untuk keperluan
belanja akademik, penelitian, pengabdian masyarakat, seminar dan sebagainya. Disamping
itu kiriman dari orang tua mahasiswa yang berasal dari berbagai penjuru juga
ikut menambah jumlah arus dana yang masuk . Perputaran uang yang cukup banyak
ini akan menggerakkan roda ekonomi rakyat dengan menyediakan segala fasilitas
bagi tugas belajar mereka selama di Banyuwangi. Dari sisi kebudayaan, seni
budaya Osing akan dikenal luas oleh masyarakat dari seluruh Indonesia.
Disisi lain ada pemikiran bahwa dengan
hadirnya PTN tersebut, justru menahan putra daerah yang akan pergi study ke kota
lain untuk tetap tinggal di kampung halamannya guna efisiensi biaya operasional
study yang dapat meringankan beban orang tua. Implikasinya adalah menahan capital flight yang selama ini terlepas
ke kota lain. Ada berapa banyak biaya operasional yang dikeluarkan oleh orang
tua dalam membiaya anak kuliah, seperti biaya pemondokan, konsumsi,
transportasi, fotocopy, pulsa, pembelian
keperluan sehari-hari, dan lain sebagainya. Bila setiap tahun ada 100 orang
saja anak Banyuwangi yang bisa tertahan di kampung halamannya untuk study, maka
ada lebih kurang 1 Milyar potensi uang yang tetap berputar di kota sendiri dan
tidak lepas ke kota lain. Justru Banyuwangi akan kemasukan uang dari mahasiswa
yang berasal dari kota lain yang jumlahnya tidak jauh beda dengan hitungan
sebelumnya. Belum lagi bila saat wisuda tiba, dimana tiap mahasiswa
menghadirkan orang tua dan sanak famili untuk hadir dan belanja pernak-pernik
khas kota Banyuwangi. Multiefek ini sangat bagus pengaruhnya bagi tumbuhnya
sektor ekonomi mikro dan bidang jasa, atau dengan kata lain hampir semua varian
ekonomi rakyat yang ditawarkan laku untuk dijual.
Hal lain dari manfaat kehadiran PTN
di Banywangi adalah mengisi kekosongan jurusan yang tidak ada di PTS-PTS,
sehingga dengan makin banyaknya ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM) lulusan dari
berbagai bidang keahlian di Banyuwangi, akan semakin sinergis dengan perkembangan
kota yang semakin maju di masa depan. Perkembangan suatu kota tidak luput dari
kebutuhan terhadap ketersediaan SDM yang menangani banyak bidang. Tantangan
yang dihadapi Banyuwangi tidak semakin ringan dengan makin tumbuhnya industri
manufaktur, industri jasa, bahkan industri pertambangan. Bila SDM dari putra
daerah tidak mempu menjawab perkembangan kota, maka tidak dapat dipungkiri
adanya introdusir warga dari kota lain yang akan mengisi kekosongan tersebut. Padahal
tujuan utama dari masuknya industri tidak sekedar meningkatkan income daerah, tetapi yang lebih penting
masyarakat Banyuwangi bisa menjadi tuan di kampung halamannya sendiri.
Manfaat berikutnya adalah terbukanya
peluang bagi PTS untuk membuka jurusan yang sejenis, untuk menampung calon
mahasiswa yang tidak diterima di UNAIR Ada kecenderungan bahwa niat seseorang
untuk sekolah ke suatu tempat bisa jadi dari ketertarikan terhadap kota
tersebut. Di samping itu dengan membuka jurusan yang sejenis, PTS dapat
langsung bertindak sebagai penampung dan sister
department dari jurusan yang dimaksud. Mengenai sumberdaya pengajar, bisa
melalui dua skenario yakni memberi kesempatan dosen UNAIR yang homebase di Banyuwangi
untuk mengajar sore atau memanfaatkan putra-putra Banyuwangi yang telah lulus
dari jurusan tersebut setelah melanjutkan ke program Magister.
Dari
uraian tersebut masyarakat dapat menilai bersama bahwa kehadiran PTN memberikan
efek positif bagi perkembangan kota Banyuwangi yang akseleratif. Dalam waktu
dekat memang perlu penyesuaian-penyesuaian bagi PTS di Banyuwangi dalam rangka
merespon kehadiran UNAIR, dan Pemerintah Daerah wajib menjadi pendamping yang
bijaksana agar program yang dicanangkan ini justru akan menghasilkan win-win solution, karena bagaimanapun
juga PTS di Banyuwangi adalah aset masyarakat yang telah banyak berjasa bagi
pemerataan pendidikan perguruan tinggi di Banyuwangi.
*Putra Daerah, Dosen Universitas Jember
(Diterbitkan di Radar Jember, Jumat18 Juli 2014, halaman 40)
http://issuu.com/alsod/docs/18_juli_web_280fa6fda4f872#signin
PR Bidang Pendidikan di Pemerintahan Indonesia Hebat
Oleh: Slamet Hariyadi*)
Setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU)
menetapkan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla menjadi pemenang dalam Pilpres
2014-2019, marilah sekarang kita fokus kepada program bidang Pendidikan yang
dicanangkan. Mengapa penulis lebih memilih program ini sebagai bagian penting
dari program yang lain? karena peradaban suatu bangsa di masa depan ditentukan
oleh kualitas sumberdaya manusianya, yang dalam hal ini banyak bergantung pada
akses dan kualitas pendidikan.
Ada sembilan program yang
dicanangkan dalam lima tahun kedepan. Pertama adalah program Wajib Belajar
selama 12 tahun dibiayai negara dan beasiswa bagi mahasiswa di Perguruan
Tinggi. Program ini merupakan representasi dari keperdulian pemerintah sesuai
amanat UUD 1945 yakni “mencerdaskan kehidupan bangsa”, yang memberikan
kesempatan seluruh rakyat untuk mengenyam pendidikan dari hulu hingga hilir. Tantangannya
adalah di lapangan program kewajiban belajar belum tentu direspon oleh
masyakat, sehingga Angka Putus Sekolah (APS) di Indonesia belum juga tuntas
hingga saat ini. Berdasarkan data BPS
dari sumber Profil Anak Indonesia, pada tahun 2011, rata-rata nasional APS
untuk SD (0,67%), SMP (2,21%), dan SMA (2,32%). Propinsi yang paling tinggi
tingkat APS untuk SD adalah Sulawesi Barat (2,37%), SMP di Papua Barat (2,37 %)
dan SMA di Sulawesi Tengah (6,58 %). Penyebab putus sekolah antara lain tidak ada biaya
(49,5%), bekerja membantu orang tua (9,2%), pernikahan dini (3,1%), tidak bisa
calistung (1%) dan karena faktor lain-lain (37,2%) diantaranya kurangnya kesadaran orang tua akan pentingnya
pendidikan sebagai investasi masa depan anak dan keadaan geografis yang kurang mendukung. Maka itu sangat
strategis sekali program ini dicanangkan sebagai jawaban atas problem APS yang
terus ada di setiap periode pemerintahan.
Program kedua yang mendukung program
pertama adalah memastikan partisipasi 100% dalam pendidikan SD dan 95% pada SMP.
Perlu diketahui bahwa Angka Partisipasi Kasar (APK) tingkat SD (95,4%), SMP
(98,1%) dan SMA (78,7%). Artinya selalu ada anak yang tidak melanjutkan sekolah
setiap lulus dari satu jenjang. Angka itu makin mengecil pada level Perguruan
Tinggi. Ini berarti pemerintah perlu memikirkan support system yang menjamin partisipasi masyarakat untuk
menyekolahkan anak tanpa hambatan. Tantangannya adalah kesadaran akan
pentingnya melanjutkan sekolah sering terbentur pada ketidakpastian ukuran
kesuksesan setelah mereka lulus. Artinya, anak yang sudah sekolah tinggi-tinggi
belum tentu mendapatkan pekerjaan yang layak dan sukses. Hal ini mengindikasikan bahwa sekolah perlu
meningkatkan peran terhadap performa anak didik dan merevisi cara mengevaluasi
agar semua kompetensi diri siswa dapat direkam secara komprehensif, sehingga
pribadi utuh dari seorang anak didik dapat dikenali gurunya dan dapat
disesuaikan dengan pola belajarnya. Dengan
begitu sekolah menjadi sangat berarti bagi pengembangan diri anak untuk bekal
hidup di masa depannya. Masyarakat tanpa disuruh akan mendatangi sekolah dan
mendukung partisipasi dalam kegiatan belajar anak sampai tuntas.
Sistem pendukung lain yang akan memback-up program kedua ini adalah
diwujudkannya penerbitan Kartu Indonesia Pintar sebagai program ketiga untuk
membantu biaya operasional pendidikan siswa di sekolah. Menilik dari kartu
serupa yang pernah diterbitkan untuk warga DKI Jakarta, tiap bulan siswa/siswi kurang mampu akan diberikan
bantuan pendidikan Rp 240.000,00 (SMA), Rp 210.000,00 (SMP), dan Rp 180.000,00 (SD). Besaran ini mungkin akan disesuaikan
dengan kondisi daerah dan index kemahalan masing-masing propinsi. Tantangan
dari program ini antara lain validitas data anak kurang mampu, besaran varian
dana tiap wilayah di seluruh Indonesia dan keterjaminan tidak ada potongan
ilegal diluar ketentuan. Membandingkan dengan program Bidik Misi untuk
Mahasiswa, tidak mudah untuk menentukan status sebuah keluarga kurang mampu,
karena tidak hanya berdasarkan income,
tetapi juga tanggungan yang terbeban pada keluarga tersebut. Jangan sampai
program ini justru membuka peluang penyimpangan data, dimana anak yang cukup
mampu justru mendapatkan bantuan sedang yang tidak mampu malah terabaikan. Kejujuran
dari perangkat desa untuk memberikan surat keterangan sangat dibutuhkan, dan
masyarakat sebagai pengawal dari program ini harus perduli bila ada
penyimpangan data. Hal ini demi ketepatan sasaran dan keberhasilan program.
Setelah
pintu akses dan jaminan sekolah diberikan, program keempat adalah meningkatkan pelatihan guru dan memastikan ketersediaan
guru di daerah tertinggal. Guru dan siswa bagai dua sisi mata uang yang saling
sinergis untuk menghasilkan kualitas pendidikan yang diharapkan. Guru harus
menjadi sumber inspirasi, sumber motivasi dan sumber performansi di sekolah.
Guru harus dapat menjadi fasilitator dalam pembelajaran, model bagi perilaku
siswa dan tauladan dalam interaksi sosialnya. Guru harus memiliki empat
kompetensi wajib yakni Kompetensi Profesional, Kompetensi Paedagogik,
Kompetensi Sosial dan Kompetensi Kepribadian. Dengan demikian pelatihan guru sangat
urgent untuk dapat membentuk pengetahuan, sikap dan ketrampilan guru sesuai
amanat di atas. Juga dalam pelatihan tidak
sekedar meningkatkan kompetensi kognitifnya, tetapi juga sisi kepribadiannya
sebagai seorang pendidik layaknya resi di kisah Mahabarata. Disamping itu
ketersediaan guru yang terbatas dan tidak merata perlu mendapat perhatian
tersendiri, karena menyebabkan sekolah-sekolah di daerah terpencil dan
tertinggal hanya menjadi lembaga pendidikan minim karya. Ada 183 Kabupaten yang
dinyatakan sebagai daerah tertinggal, dimana 70% berada di Kawasan Indonesia
Timur. Melalui kerja sama dengan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal,
program pemerataan guru dapat berjalan dengan baik. Tantangan dari program ini
adalah kesulitan mendapatkan guru yang sukarela ditempatkan di wilayah
tersebut. Kebanyakan guru berusaha untuk minta pindah ke kota dan meninggalkan
tempat terpencil walaupun dalam surat pernyataan sebagai guru bersedia
ditempatkan di seluruh wilayah negara kesatuan Republik Indonesia. Maka itu
pemerintah berkewajiban untuk mengembangkan wilayah tertinggal menjadi daerah
yang cukup layak sebagai sebuah desa atau kota dan mengoptimalkan kekayaan bumi
untuk diolah ditempat sendiri. Dengan begitu masyarakatnya tidak perlu eksodus
ke daerah lain untuk mendapatkan penghidupan yang layak dan guru-gurunyapun
sudi untuk bertempat tinggal di daerah tersebut. Sebagai jembatan dalam
pemenuhan progam ini, sementara bisa memanfaatkan program yang dicetuskan oleh
Anies Baswedan yakni Indonesia Mengajar di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM-3T).
Program kelima yakni memberikan jaminan hidup
untuk para guru secara berkualitas dan merata. Pernyataan ini bisa mengindikasikan
bahwa Tunjangan Profesi Pendidik (TPP) tidak akan dihapus, bahkan perlu
mempertimbangkan sistem penggajian berbasis kinerja dan keunikan wilayah untuk
kesejahteraan yang berkualitas. Guru dengan produktivitas tinggi diberikan
insentif yang berbeda dengan guru standar rata-rata. Reward diberikan berbasis pada karya yang dihasilkan guru
berorientasi pada peningkatan kompetensi siswanya dan karya monumental yang
memberikan efek domino baik bagi diri guru, teman sejawat dan lingkungan
pendidikan yang lebih luas. Sedangkan keunikan wilayah dinilai berdasarkan
kesulitan akses seperti wilayah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal) dan index
kemahalan kota (Megapolitan, Metropolitan, Kota Besar, Kota Sedang dan Kota
Kecil). Dengan begitu kesejahteraan guru tidak hanya berkualitas dan merata,
tetapi juga berkeadilan.
Program keenam adalah mengevaluasi
sistem pendidikan nasional termasuk Ujian Nasional (UN). Pengertian evaluasi
menyangkut banyak aspek dari penilaian sistem yang telah dijalankan selama ini,
termasuk masalah input, process,
enviromental, output dan outcome.
Bila mengacu pada Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, berarti juga mengevaluasi
delapan standar yakni Standar Pengelolaan, Standar Pendidik dan
Tenaga Kependidikan,
Standar Sarana Prasarana,
Standar Pembiayaan,
Standar Proses,
Standar Isi,
Standar Penilaian dan Standar Kompetensi Lulusan. Menyangkut point yang terakhir, UN akan masuk evaluasi. Evaluasi
sistem harus tetap mengacu pada target untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, yang bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab.Tantangannya adalah variabilitas profil lembaga pendidikan yang sangat
beragam dari semua jenjang pendidikan, jenis pendidikan, kualitas lembaga
pendidikan. Kendala lain antara lain
kemampuan guru dalam menjalankan keempat kompetensi, terbatasnya media dan
peralatan pembelajaran yang minim, tidak adanya laboratorium dan perpustakaan,
sumber belajar yang tidak layak, jumlah siswa yang terlalu banyak dalam satu
kelas atau terlalu sedikit dalam satu sekolah, dsb. Untuk itu memerlukan effort yang sangat besar dari pemerintah
dalam bentuk support system yang
handal, masif, masal dan terkontrol.
Rupanya program keenam berlanjut
dengan program ketujuh yakni perbaikan
atau menata kurikulum pendidikan dengan menonjolkan pendidikan kewarganegaraan.
Berharap sekali program ini tidak dalam pengertian mengganti kurikulum mengingat
baru saja diterapkan Kurikulum 2013 (K-13), dimana sosialisasi, pelatihan,
induksi awal, penyusunan perangkat baru saja dijalankan dari tahun alu. Selayaknya
suatu kurikulum diterapkan minimal 10 tahun untuk dinilai efektivitas dan
relevansinya dengan perkembangan masyarakat terkini. Hal yang dibutuhkan pada
pemerintahan lima tahun ini justru dukungan terhadap pelaksanaan K-13 supaya
guru tidak terus diombang-ambingkan dengan kebijakan baru, fokus dengan
prestasi siswa dan komitmen untuk melaksanakan pembelajaran dengan terampil dan
berhasil. Penataan dan perbaikan kurikulum juga hendaknya lebih ke arah
konsistensi implementasi sesuai tujuan, sasaran dan target kurikulum,
penyesuaian content sesuai
perkembangan zaman, tidak mengabaikan character
building dan semangat nasionalisme keindonesiaan, serta yang terpenting
adalah tetap teguh mengajarkan doktrin keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Program kedelapan adalah inti dari
kampanye yang sering disampaikan Capres Indonesia Hebat, yakni Revolusi Mental.
Untuk bidang pendidikan fokus 70% pada pendidikan Budi Pekerti dan 30% pada
pengetahuan umum di tingkat pendidikan dasar. Ini sangat sinergis dengan K-13
yang memprioritaskan target pembelajaran pada Kompetensi Inti Sikap Spritual
dan Sikap Sosial. Memang persoalan Budi Pekerti sudah sangat kritis bagi bangsa
ini. Kesadaran (Awarness) terhadap
suatu nilai menjadi barang langka, karena penyimpangan, kesalahan, dan kriminalitas
yang terjadi bukan karena ketiadaan pengetahuan akan obyek yang menjadi
penyebab, tetapi lebih karena kesadaran akan pengetahuan itu yang diabaikan.
Seseorang yang paham aturan pajak malah melanggar pajak, pejabat yang paham
hukum justru mempermainkan hukum, person yang paham agama malah terjerat oleh
persoalan agama. Inilah tantangan besar dari revolusi mental untuk
mengedepankan kesadaran di atas pengetahuan melalui pendidikan Budi Pekerti. Tantangannya
adalah budaya hedonisme yang sudah semakin mewabah, permissivitas di segala
aspek kehidupan, dekadensi moral di semua kalangan, dan kebanyakan parameter
statistik di level Internasional masih menempatkan Indonesia pada kedudukan
juru kunci, sejajar dengan negara-negara kecil dan miskin. Persoalan-persoalan
ini perlu dicarikan jalan keluar yang sinergis, akseleratif dan solutif.
Program kesembilan adalah memberikan
perhatian yang tinggi kepada pendidikan yang berbasiskan peningkatan IPTEKS. Sebenarnya ini efek dari kedelapan program di
atas. Bilamana keseluruhan program pendidikan dapat dikawal dengan baik,
didukung semua lapisan masyarakat dan dikontrol melalui sistem yang
representatif, maka peningkatan IPTEKS adalah sebuah keniscayaan.
Tantangan-tantangan dari setiap program perlu mendapatkan repson yang bijak,
dengan melihat akar masalah dan kondisi wilayah. Rentang kendali yang sangat luas
dari Sabang sampai Merauke menuntut pemerintah harus berpikir mozaik dan tidak
general, tetapi tetap komprehensif dan proporsional. Keindonesiaan tidak
dibangun oleh homogenitas, tetapi justru oleh heterogenitas, pluralisme, dan
kebhinekaan, sehingga setiap daerah mempunyai karakteristik yang khas dan
berbeda dengan yang lain, yang harus dibingkai dengan keputusan yang bijak,
adil dan merata. Dengan demikian
masyarakat akan merasakan perubahan yang signifikan dari hasil pendidikan yang
berkualitas, yang lambat laun akan mengubah peradaban Indonesia menjadi lebih maju,
unggul dan hebat di masa depan.
*) Dosen
Universitas Jember
Langganan:
Postingan (Atom)