Jumat, 19 Mei 2017

Antara Kamis Malam dan Malam Jumat

Sudah menjadi lumrah di Indonesia dimana orang menyebutkan hari dalam dua dimensi berbeda saat malam hari. Contoh seperti menyebutkan Kamis Malam, beberapa orang lebih suka menyebutkan dengan Malam Jumat. Apa bedanya?
Dalam perspektif waktu, keduanya masuk dalam rentang yang sama, yakni setelah Maghrib sampai tengah malam. Namun dasar dari kedua penyebutan yang berbeda. Untuk istilah kamis malam, dasar penyebutannya lebih kepada Kalender Masehi, dimana permulaan hari dimulai tengah malam yakni jam 00.00 (24.00/12.00 am). Dengan demikian, setelah maghrib tiba, nama hari belum berganti dan masih hari yang sama dengan siangnya, misalnya kamis. Tetapi yang menyebutkan malam jumat, lebih didasarkan pada Kalender Hijriyah, dimana permulaan hari dimulai setelah waktu maghrib, saat tergelincirnya matahari (ingat, permulaan 1 ramadhan, permulaan 1 syawal di hari raya idul fitri, dsb selalu ditentukan saat maghrib tiba). Dengan dasar itu, setelah maghrib sudah berganti hari, misalnya siangnya kamis maka malamnya sudah jumat, sehingga orang menyebut sebagai malam jumat. Dalam kalender jawa malah lebih awal lagi, karena pergantian hari & weton dimulai setelah waktu ashar. Bilamana siangnya hari kamis wage, maka setelah ashar sudah masuk waktu jumat kliwon.

Kamis, 30 April 2015

Nikmatnya Kopi dan Rasa

Saya pernah menunjukkan sebuah Teko dan menanyakan kepada sekelompok mahasiswa: "Siapa yang tahu, apa isi Teko ini?". Beberapa mencoba menebak teh, kopi, air, malah ada yg menebak kosong. Sy lanjutkan pertanyaan: "Bagaimana cara tahu isi Teko ini?". Mereka sepakat menjawab dengan menuangkan isi Teko. Nah ! saya menegaskan: Kalau apa yang dituangkan Teko menunjukkan isinya, maka demikian juga apa yang dikatakan oleh seseorang, apa yang mereka tulis juga adalah cermin isi pikiran dan hatinya.

Pertanyaan kedua: "Andai isi Teko itu adalah Kopi, bgm cara tahu kalau Kopi ini enak atau tidak?". Yah, mahasiswa banyak yang berpendapat dengan cara mencicipi atau meminumnya. Kalau Kopinya berkualitas pasti terasa nikmat.
Sy tegaskan: kalau nikmatnya kopi dirasakan dengan lidah, makanya enaknya sebuah omongan dirasakan dengan hati. Bila pernyataan itu berkualitas, maka akan membuat hati menjadi nyaman, baik untuk masa kini atau yang akan datang.

Selasa, 24 Februari 2015

Urip Koyo Mung Mampir Ngombe (Hidup Seperti Mampir Untuk Minum Semata)

"1 HARI DI AKHIRAT SAMA DENGAN 1000 TAHUN DI DUNIA !!!"
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman :
وَإِنَّ يَوْمًا عِنْدَ رَبِّكَ كَأَلْفِ سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّونَ
Artinya:
Sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitungan kamu.(QS. Al Hajj: 47)
Atau dalam Firman-Nya yang lain:
Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya seribu tahun menurut perhitunganmu. (QS. As-Sajadah :5)

Mari kita hitung secara sederhana: 
1 hari   = 1.000 tahun
24 jam = 1.000 tahun
Kalau umur menurut Nabi Muhammad 63 tahun saja maka (63/1.000) x 24 = 1,512 (dibulatkan 1,5 jam).
Jadi......umur yang 63 tahun sebenarnya hanya 1,5 jam dalam pandangan Tuhan, seperti orang mampir ngopi aja. 

Lihatlah orang mimpi, kalau ia mimpi yang tidak nyaman saat bangun ia bersyukur karena dalam kehidupan nyatanya ia lebih nyaman dari mimpinya. Tapi kalau ia mimpi nyaman, maka saat bangun ia kecewa karena ternyata cuma mimpi yang sebentar. So.....bila waktu di dunia ini anda lebih banyak berfoya-foya daripada beribadah, maka saat terbangun dari alam kubur seperti bangun dari mimpi, ternyata hidup yang haikiki adalah hidup setelah mati.

Sabtu, 21 Februari 2015

Tuhan itu Maha Baik

Mintalah, maka Tuhan Pasti akan Mengabulkan......

Seorang Ayah mempunyai anak masih duduk di bangku SMA.
I- Saat anaknya meminta dibelikan Ballpoint untuk kepentingan sekolah, Ayahnya langsung membelikan
II- Saat anaknya minta melanjutkan kuliah ke kota X, Ayahnya menolak tapi memberinya alternatif ke kota Y
III- Saat anaknya meminta menikah, Ayahnya tidak mengabulkan tetapi mempertimbangkan nanti setelah ia bekerja

Ayahnya tidak selalu memberikan permintaan anaknya tetapi selalu mengabulkan apa yang dimaksudkan dengan caranya:
- Saat sang anak meminta ballpoint, segera dikabulkan saat itu juga karena itu hal penting dalam aktivitasnya sebagai pelajar.
- Saat sang anak meminta melanjutkan kuliah ke kota X, Ayahnya mengabulkan dalam bentuk lain, yaitu mengabulkan ke kota Y, karena Ayahnya paham bahwa kota X lingkungannya kurang baik, banyak kasus narkoba, free sex dan kasus-kasus non-akademis yang akan mempengaruhi lingkungan belajarnya kelak.
- Saat sang anak meminta menikah, Ayahnya akan mengabulkan pada saatnya nanti dia sudah cukup siap secara lahir batin, hanya menunda waktu.

Mungkin dihadapan anak, Ayahnya adalah seorang yang tidak bisa memenuhi segala keinginannya, tidak menunjukkan rasa kasih sayang, tidak pandai menyenangkan anak. Bagi Ayah, semua permintaan anaknya sebenarnya baik, tetapi kadang didasari oleh emosi semata, hawa nafsu untuk mencapai kesenangan. Ayahnya berusaha memenuhi MAKSUD permohonan anaknya, tetapi bukan mengabulkan SESUAI apa yang diminta anaknya, karena Ayahnya mempertimbangkan kebaikan dan keselamatannya.

Permintaan ada yang dikabulkan, ada yang dialihkan, dan ada yang ditunda sampai waktu yang tepat. Demikian juga dengan Doa

Begitu kira-kira analog tentang kejadian permintaan kita di hadapan Tuhan

Minggu, 18 Januari 2015

Lelaki itu untuk Perempuan, dan Perempuan hanya untuk Perempuan

Pada waktu kita membaca pengumuman bahwa jumlah "mahasiswa" dalam suatu lembaga pendidikan berjumlah 200 orang, itu berarti terdiri dari mahasiswa laki-laki dan perempuan. Tetapi bila ada pengumuman bahwa "mahasiswi" diwajibkan berjilbab, maka hanya ditujukan untuk yang perempuan.

Pada waktu ada kalimat "Semoga Menjadi Haji yang mabrur", maka kata Haji itu pasti ditujukan untuk Bapak dan Ibu yang berangkat menunaikan ibadah tersebut, tetapi bila ada kalimat "Ibu Hajjah Mariah diangkat sebagai Kepala Sekolah", maka kata Hajjah itu hanya ditujukan pada kaum ibu-ibu saja.

Pada waktu dikumandangkan "Sumpah Pemuda", pasti didalam kata tersebut mengandung unsur Pemudi. Tetapi bila ada berita "Pemudi di daerah Jember yang putus sekolah, hampir semua bekerja di Pabrik Rokok", maka kata pemudi hanya menujuk pada para perempuan muda saja.

Saat seorang lelaki shalat sendiri, lalu datanglah seorang perempuan, maka ia bisa berdiri di belakangnya dan menjami makmum, sehingga shalat itu milik bersama (jama'ah), tetapi bila seorang perempuan shalat sendiri, lalu datang seorang laki-laki, maka itu tak bisa ikut dibelakangnya, karena shalat perempuan dengan siatuasi seperti itu hanya untuk dirinya, atau kawan perempuan lainnya.

So......Bila ada seorang isri yang bekerja dan mengatakan kepada suaminya: "Uangmu adalah Uangku, dan Uangku adalah Uangku saja", maka.......permaklumkanlah ! Itulah dunia perempuan

Senin, 12 Januari 2015

Menakar Manfaat Kehadiran PTN di Banyuwangi

  Slamet Hariyadi*

            Pembukaan Perguruan Tinggi Negeri ketiga di Banyuwangi setelah Politeknik Negeri Banyuwangi (Poliwangi) dan Sekolah Pilot Loka Pendidikan dan Pelatihan Penerbang Banyuwangi (LP3B) telah menimbulkan silang pendapat yang berkepanjangan. Ada banyak yang khawatir terhadap adanya pasal pelanggaran aturan, disusul lagi tensi kompetisi yang signifikan diantara para penyelenggara pendidikan di tingkat lokal, membuat persoalan ini berkelanjutan. Apalagi Universitas Airlangga (UNAIR) sebagai pihak yang ditunjuk Pemerintah Daerah merupakan Perguruan Tinggi Negeri The Best Ten di Indonesia, membuat pelaku penyelenggara pendidikan berpikir dua kali untuk bersaing di level yang sama. Namun setelah ditandatanganinya MoU oleh Bupati Banyuwangi dan Rektor UNAIR, disaksikan Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendikbud dan Ketua DPRD Banyuwangi pada 10 Juni 2014 lalu, mari kita analisis bersama untuk menakar manfaat kehadiran PTN di Banyuwangi. 
Persoalan pertama adalah kekhawatiran PTS mengalami penurunan pendaftar akibat hadirnya PTN besar di Banyuwangi. Kalaupun perasaan ini sempat muncul masih dalam pemikiran yang wajar tetapi perlu didiskusikan lagi, mengingat segmentasi calon mahasiswa yang akan masuk UNAIR tidak sama dengan segmentasi yang akan memilih PTS di Banyuwangi. Calon mahasiswa dengan prestasi dan nilai yang memadai tentunya yang berani masuk ke UNAIR karena passing-grade di jurusan-jurusan pilihan yang ada menuntut pencapaian nilai yang tinggi pula, baik  dari sisi kualifikasi sekolah asal, prestasi akademik atau non akademik yang dicapai selama di bangku sekolah pada SNM-PTN, maupun nilai test masuk  yang diraih pada SBM-PTN. Dengan demikian  masih banyak peluang PTS Banyuwangi untuk menampung calon mahasiswa yang tidak termasuk dalam kategori tersebut, baik secara langsung mendaftar setelah lulus maupun setelah tidak diterima di PTN yang dituju. Bila kita hitung secara kasar, jumlah siswa lulusan sekolah menengah atas SMA, SMK dan MA di Banyuwangi sekitar 15 ribu-an. Dari jumlah tersebut bila meminjam Angka Partisipasi Kasar (APK) perguruan tinggi lebih kurang 20%, maka ada 3.000-an anak yang melanjutkan kuliah. Dengan daya tampung UNAIR Banyuwangi 200 orang untuk penerimaan mahasiswa tahun ini, masih banyak peluang bagi PTS untuk meraih mahasiswa dari putra daerah.  Jumlah inipun belum tentu diisi oleh siswa dari Banyuwangi semua, paling tidak hanya 30%-50% atau sekitar 60-100 orang saja.
 Persoalan lain adalah tentang jurusan-jurusan tertentu yang dibuka oleh UNAIR seperti Kedokteran Hewan dan Kesehatan Masyarakat yang tidak secara langsung berkompetisi dengan jurusan-jurusan yang sudah berkembang di Banyuwangi. Sebenarnya semakin banyak macam jurusan yang dibuka akan semakin memperluas cakupan mahasiswa yang hadir dan sekolah di Banyuwangi. Ini salah satu modal dasar terbentuknya kota pendidikan.  Disisi lain dengan adanya kedua jurusan rumpun kesehatan ini mungkin dapat menjadi akses bagi lembaga atau instansi kesehatan seperti Rumah Sakit dan Dinas Kesehatan Kabupaten Banyuwangi untuk bekerjasama dengan Fakultas Kedokteran UNAIR yang terkenal baik dan menjadi rujukan se-Indonesia. Akan halnya jurusan Budidaya Perairan dan Akuntansi yang ternyata sama dengan jurusan yang sudah ada, dapat dijadikan benchmark bagi PTS di Banyuwangi untuk mengawal kualitas jurusannya sendiri sehingga bisa diajak kerjasama untuk meningkatkan performa. Sejumlah PTS di Banyuwangi perlu mempunyai benchmark untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, penelitian dan kegiatan akademis lainnya agar dapat berdiri sejajar dengan Perguruan Tinggi Negeri seperti yang ditunjukkan oleh Universitas Muhammadiyah Malang, Universitas Petra Surabaya, Universitas Guna Dharma karena secara psikologis kehadiran lembaga qualified yang dekat secara geografis akan memacu pembenahan manajemen di segala sisi.
Manfaat lain dari kehadiran PTN di kota gandrung ini, menjadikan Banyuwangi sebagai kota pelajar, yang akan mengundang calon mahasiswa dari berbagai kota dan propinsi di Indonesia untuk datang, sehingga perkembangan ini akan menghidupkan PTS-PTS untuk menjadi alternatif, seperti halnya yang terjadi di kota Yogyakarta, Jakarta, Bandung, Surabaya dan kota-kota pelajar lainnya. Hadirnya UNAIR justru menjadi magnet yang memperluas akses Banyuwangi untuk menerima mahasiswa dari seluruh Indonesia, sehingga menguntungkan  Banyuwangi dari sisi ekonomi dan budaya. Dari sisi ekonomi, terjadi arus dana yang cukup signifikan dari Kementerian Pendidikan dan kebudyaan di PTN yang dimaksud untuk keperluan belanja akademik, penelitian, pengabdian masyarakat, seminar dan sebagainya. Disamping itu kiriman dari orang tua mahasiswa yang berasal dari berbagai penjuru juga ikut menambah jumlah arus dana yang masuk . Perputaran uang yang cukup banyak ini akan menggerakkan roda ekonomi rakyat dengan menyediakan segala fasilitas bagi tugas belajar mereka selama di Banyuwangi. Dari sisi kebudayaan, seni budaya Osing akan dikenal luas oleh masyarakat dari seluruh Indonesia.
Disisi lain ada pemikiran bahwa dengan hadirnya PTN tersebut, justru menahan putra daerah yang akan pergi study ke kota lain untuk tetap tinggal di kampung halamannya guna efisiensi biaya operasional study yang dapat meringankan beban orang tua. Implikasinya adalah menahan capital flight yang selama ini terlepas ke kota lain. Ada berapa banyak biaya operasional yang dikeluarkan oleh orang tua dalam membiaya anak kuliah, seperti biaya pemondokan, konsumsi, transportasi,  fotocopy, pulsa, pembelian keperluan sehari-hari, dan lain sebagainya. Bila setiap tahun ada 100 orang saja anak Banyuwangi yang bisa tertahan di kampung halamannya untuk study, maka ada lebih kurang 1 Milyar potensi uang yang tetap berputar di kota sendiri dan tidak lepas ke kota lain. Justru Banyuwangi akan kemasukan uang dari mahasiswa yang berasal dari kota lain yang jumlahnya tidak jauh beda dengan hitungan sebelumnya. Belum lagi bila saat wisuda tiba, dimana tiap mahasiswa menghadirkan orang tua dan sanak famili untuk hadir dan belanja pernak-pernik khas kota Banyuwangi. Multiefek ini sangat bagus pengaruhnya bagi tumbuhnya sektor ekonomi mikro dan bidang jasa, atau dengan kata lain hampir semua varian ekonomi rakyat yang ditawarkan laku untuk dijual.
Hal lain dari manfaat kehadiran PTN di Banywangi adalah mengisi kekosongan jurusan yang tidak ada di PTS-PTS, sehingga dengan makin banyaknya ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM) lulusan dari berbagai bidang keahlian di Banyuwangi, akan semakin sinergis dengan perkembangan kota yang semakin maju di masa depan. Perkembangan suatu kota tidak luput dari kebutuhan terhadap ketersediaan SDM yang menangani banyak bidang. Tantangan yang dihadapi Banyuwangi tidak semakin ringan dengan makin tumbuhnya industri manufaktur, industri jasa, bahkan industri pertambangan. Bila SDM dari putra daerah tidak mempu menjawab perkembangan kota, maka tidak dapat dipungkiri adanya introdusir warga dari kota lain yang akan mengisi kekosongan tersebut. Padahal tujuan utama dari masuknya industri tidak sekedar meningkatkan income daerah, tetapi yang lebih penting masyarakat Banyuwangi bisa menjadi tuan di kampung halamannya sendiri.
Manfaat berikutnya adalah terbukanya peluang bagi PTS untuk membuka jurusan yang sejenis, untuk menampung calon mahasiswa yang tidak diterima di UNAIR Ada kecenderungan bahwa niat seseorang untuk sekolah ke suatu tempat bisa jadi dari ketertarikan terhadap kota tersebut. Di samping itu dengan membuka jurusan yang sejenis, PTS dapat langsung bertindak sebagai penampung dan sister department dari jurusan yang dimaksud. Mengenai sumberdaya pengajar, bisa melalui dua skenario yakni memberi kesempatan dosen UNAIR yang homebase di Banyuwangi untuk mengajar sore atau memanfaatkan putra-putra Banyuwangi yang telah lulus dari jurusan tersebut setelah melanjutkan ke program Magister.
            Dari uraian tersebut masyarakat dapat menilai bersama bahwa kehadiran PTN memberikan efek positif bagi perkembangan kota Banyuwangi yang akseleratif. Dalam waktu dekat memang perlu penyesuaian-penyesuaian bagi PTS di Banyuwangi dalam rangka merespon kehadiran UNAIR, dan Pemerintah Daerah wajib menjadi pendamping yang bijaksana agar program yang dicanangkan ini justru akan menghasilkan win-win solution, karena bagaimanapun juga PTS di Banyuwangi adalah aset masyarakat yang telah banyak berjasa bagi pemerataan pendidikan perguruan tinggi di Banyuwangi.

*Putra Daerah, Dosen Universitas Jember
(Diterbitkan di Radar Jember, Jumat18 Juli 2014, halaman 40)
http://issuu.com/alsod/docs/18_juli_web_280fa6fda4f872#signin


PR Bidang Pendidikan di Pemerintahan Indonesia Hebat

Oleh: Slamet Hariyadi*)

Setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla menjadi pemenang dalam Pilpres 2014-2019, marilah sekarang kita fokus kepada program bidang Pendidikan yang dicanangkan. Mengapa penulis lebih memilih program ini sebagai bagian penting dari program yang lain? karena peradaban suatu bangsa di masa depan ditentukan oleh kualitas sumberdaya manusianya, yang dalam hal ini banyak bergantung pada akses dan kualitas pendidikan.
Ada sembilan program yang dicanangkan dalam lima tahun kedepan. Pertama adalah program Wajib Belajar selama 12 tahun dibiayai negara dan beasiswa bagi mahasiswa di Perguruan Tinggi. Program ini merupakan representasi dari keperdulian pemerintah sesuai amanat UUD 1945 yakni “mencerdaskan kehidupan bangsa”, yang memberikan kesempatan seluruh rakyat untuk mengenyam pendidikan dari hulu hingga hilir. Tantangannya adalah di lapangan program kewajiban belajar belum tentu direspon oleh masyakat, sehingga Angka Putus Sekolah (APS) di Indonesia belum juga tuntas hingga saat ini. Berdasarkan data BPS dari sumber Profil Anak Indonesia, pada tahun 2011, rata-rata nasional APS untuk SD (0,67%), SMP (2,21%), dan SMA (2,32%). Propinsi yang paling tinggi tingkat APS untuk SD adalah Sulawesi Barat (2,37%), SMP di Papua Barat (2,37 %) dan SMA di Sulawesi Tengah (6,58 %). Penyebab putus sekolah antara lain tidak ada biaya (49,5%), bekerja membantu orang tua (9,2%), pernikahan dini (3,1%), tidak bisa calistung (1%) dan karena faktor lain-lain (37,2%) diantaranya kurangnya kesadaran orang tua akan pentingnya pendidikan sebagai investasi masa depan anak dan keadaan geografis yang kurang mendukung. Maka itu sangat strategis sekali program ini dicanangkan sebagai jawaban atas problem APS yang terus ada di setiap periode pemerintahan.
Program kedua yang mendukung program pertama adalah memastikan partisipasi 100% dalam pendidikan SD dan 95% pada SMP. Perlu diketahui bahwa Angka Partisipasi Kasar (APK) tingkat SD (95,4%), SMP (98,1%) dan SMA (78,7%). Artinya selalu ada anak yang tidak melanjutkan sekolah setiap lulus dari satu jenjang. Angka itu makin mengecil pada level Perguruan Tinggi. Ini berarti pemerintah perlu memikirkan support system yang menjamin partisipasi masyarakat untuk menyekolahkan anak tanpa hambatan. Tantangannya adalah kesadaran akan pentingnya melanjutkan sekolah sering terbentur pada ketidakpastian ukuran kesuksesan setelah mereka lulus. Artinya, anak yang sudah sekolah tinggi-tinggi belum tentu mendapatkan pekerjaan yang layak dan sukses. Hal ini  mengindikasikan bahwa sekolah perlu meningkatkan peran terhadap performa anak didik dan merevisi cara mengevaluasi agar semua kompetensi diri siswa dapat direkam secara komprehensif, sehingga pribadi utuh dari seorang anak didik dapat dikenali gurunya dan dapat disesuaikan dengan pola belajarnya.  Dengan begitu sekolah menjadi sangat berarti bagi pengembangan diri anak untuk bekal hidup di masa depannya. Masyarakat tanpa disuruh akan mendatangi sekolah dan mendukung partisipasi dalam kegiatan belajar anak sampai tuntas.
Sistem pendukung lain yang akan memback-up program kedua ini adalah diwujudkannya penerbitan Kartu Indonesia Pintar sebagai program ketiga untuk membantu biaya operasional pendidikan siswa di sekolah. Menilik dari kartu serupa yang pernah diterbitkan untuk warga DKI Jakarta, tiap bulan siswa/siswi kurang mampu akan diberikan bantuan pendidikan Rp 240.000,00 (SMA), Rp 210.000,00 (SMP), dan Rp 180.000,00 (SD). Besaran ini mungkin akan disesuaikan dengan kondisi daerah dan index kemahalan masing-masing propinsi. Tantangan dari program ini antara lain validitas data anak kurang mampu, besaran varian dana tiap wilayah di seluruh Indonesia dan keterjaminan tidak ada potongan ilegal diluar ketentuan. Membandingkan dengan program Bidik Misi untuk Mahasiswa, tidak mudah untuk menentukan status sebuah keluarga kurang mampu, karena tidak hanya berdasarkan income, tetapi juga tanggungan yang terbeban pada keluarga tersebut. Jangan sampai program ini justru membuka peluang penyimpangan data, dimana anak yang cukup mampu justru mendapatkan bantuan sedang yang tidak mampu malah terabaikan. Kejujuran dari perangkat desa untuk memberikan surat keterangan sangat dibutuhkan, dan masyarakat sebagai pengawal dari program ini harus perduli bila ada penyimpangan data. Hal ini demi ketepatan sasaran dan keberhasilan program.
Setelah pintu akses dan jaminan sekolah diberikan, program keempat adalah meningkatkan pelatihan guru dan memastikan ketersediaan guru di daerah tertinggal. Guru dan siswa bagai dua sisi mata uang yang saling sinergis untuk menghasilkan kualitas pendidikan yang diharapkan. Guru harus menjadi sumber inspirasi, sumber motivasi dan sumber performansi di sekolah. Guru harus dapat menjadi fasilitator dalam pembelajaran, model bagi perilaku siswa dan tauladan dalam interaksi sosialnya. Guru harus memiliki empat kompetensi wajib yakni Kompetensi Profesional, Kompetensi Paedagogik, Kompetensi Sosial dan Kompetensi Kepribadian. Dengan demikian pelatihan guru sangat urgent untuk dapat membentuk pengetahuan, sikap dan ketrampilan guru sesuai amanat di atas. Juga dalam pelatihan  tidak sekedar meningkatkan kompetensi kognitifnya, tetapi juga sisi kepribadiannya sebagai seorang pendidik layaknya resi di kisah Mahabarata. Disamping itu ketersediaan guru yang terbatas dan tidak merata perlu mendapat perhatian tersendiri, karena menyebabkan sekolah-sekolah di daerah terpencil dan tertinggal hanya menjadi lembaga pendidikan minim karya. Ada 183 Kabupaten yang dinyatakan sebagai daerah tertinggal, dimana 70% berada di Kawasan Indonesia Timur. Melalui kerja sama dengan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, program pemerataan guru dapat berjalan dengan baik. Tantangan dari program ini adalah kesulitan mendapatkan guru yang sukarela ditempatkan di wilayah tersebut. Kebanyakan guru berusaha untuk minta pindah ke kota dan meninggalkan tempat terpencil walaupun dalam surat pernyataan sebagai guru bersedia ditempatkan di seluruh wilayah negara kesatuan Republik Indonesia. Maka itu pemerintah berkewajiban untuk mengembangkan wilayah tertinggal menjadi daerah yang cukup layak sebagai sebuah desa atau kota dan mengoptimalkan kekayaan bumi untuk diolah ditempat sendiri. Dengan begitu masyarakatnya tidak perlu eksodus ke daerah lain untuk mendapatkan penghidupan yang layak dan guru-gurunyapun sudi untuk bertempat tinggal di daerah tersebut. Sebagai jembatan dalam pemenuhan progam ini, sementara bisa memanfaatkan program yang dicetuskan oleh Anies Baswedan yakni Indonesia Mengajar di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM-3T).
 Program kelima yakni memberikan jaminan hidup untuk para guru secara berkualitas dan merata. Pernyataan ini bisa mengindikasikan bahwa Tunjangan Profesi Pendidik (TPP) tidak akan dihapus, bahkan perlu mempertimbangkan sistem penggajian berbasis kinerja dan keunikan wilayah untuk kesejahteraan yang berkualitas. Guru dengan produktivitas tinggi diberikan insentif yang berbeda dengan guru standar rata-rata. Reward diberikan berbasis pada karya yang dihasilkan guru berorientasi pada peningkatan kompetensi siswanya dan karya monumental yang memberikan efek domino baik bagi diri guru, teman sejawat dan lingkungan pendidikan yang lebih luas. Sedangkan keunikan wilayah dinilai berdasarkan kesulitan akses seperti wilayah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal) dan index kemahalan kota (Megapolitan, Metropolitan, Kota Besar, Kota Sedang dan Kota Kecil). Dengan begitu kesejahteraan guru tidak hanya berkualitas dan merata, tetapi juga berkeadilan.
Program keenam adalah mengevaluasi sistem pendidikan nasional termasuk Ujian Nasional (UN). Pengertian evaluasi menyangkut banyak aspek dari penilaian sistem yang telah dijalankan selama ini, termasuk masalah input, process, enviromental, output dan outcome. Bila mengacu pada Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, berarti juga mengevaluasi delapan standar yakni Standar Pengelolaan, Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Standar Sarana Prasarana, Standar Pembiayaan, Standar Proses, Standar Isi, Standar Penilaian dan Standar Kompetensi Lulusan. Menyangkut point yang terakhir, UN akan masuk evaluasi. Evaluasi sistem harus tetap mengacu pada target untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.Tantangannya adalah variabilitas profil lembaga pendidikan yang sangat beragam dari semua jenjang pendidikan, jenis pendidikan, kualitas lembaga pendidikan. Kendala lain  antara lain kemampuan guru dalam menjalankan keempat kompetensi, terbatasnya media dan peralatan pembelajaran yang minim, tidak adanya laboratorium dan perpustakaan, sumber belajar yang tidak layak, jumlah siswa yang terlalu banyak dalam satu kelas atau terlalu sedikit dalam satu sekolah, dsb. Untuk itu memerlukan effort yang sangat besar dari pemerintah dalam bentuk support system yang handal, masif, masal dan terkontrol.
Rupanya program keenam berlanjut dengan program ketujuh yakni perbaikan atau menata kurikulum pendidikan dengan menonjolkan pendidikan kewarganegaraan. Berharap sekali program ini tidak dalam pengertian mengganti kurikulum mengingat baru saja diterapkan Kurikulum 2013 (K-13), dimana sosialisasi, pelatihan, induksi awal, penyusunan perangkat baru saja dijalankan dari tahun alu. Selayaknya suatu kurikulum diterapkan minimal 10 tahun untuk dinilai efektivitas dan relevansinya dengan perkembangan masyarakat terkini. Hal yang dibutuhkan pada pemerintahan lima tahun ini justru dukungan terhadap pelaksanaan K-13 supaya guru tidak terus diombang-ambingkan dengan kebijakan baru, fokus dengan prestasi siswa dan komitmen untuk melaksanakan pembelajaran dengan terampil dan berhasil. Penataan dan perbaikan kurikulum juga hendaknya lebih ke arah konsistensi implementasi sesuai tujuan, sasaran dan target kurikulum, penyesuaian content sesuai perkembangan zaman, tidak mengabaikan character building dan semangat nasionalisme keindonesiaan, serta yang terpenting adalah tetap teguh mengajarkan doktrin keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Program kedelapan adalah inti dari kampanye yang sering disampaikan Capres Indonesia Hebat, yakni Revolusi Mental. Untuk bidang pendidikan fokus 70% pada pendidikan Budi Pekerti dan 30% pada pengetahuan umum di tingkat pendidikan dasar. Ini sangat sinergis dengan K-13 yang memprioritaskan target pembelajaran pada Kompetensi Inti Sikap Spritual dan Sikap Sosial. Memang persoalan Budi Pekerti sudah sangat kritis bagi bangsa ini. Kesadaran (Awarness) terhadap suatu nilai menjadi barang langka, karena penyimpangan, kesalahan, dan kriminalitas yang terjadi bukan karena ketiadaan pengetahuan akan obyek yang menjadi penyebab, tetapi lebih karena kesadaran akan pengetahuan itu yang diabaikan. Seseorang yang paham aturan pajak malah melanggar pajak, pejabat yang paham hukum justru mempermainkan hukum, person yang paham agama malah terjerat oleh persoalan agama. Inilah tantangan besar dari revolusi mental untuk mengedepankan kesadaran di atas pengetahuan melalui pendidikan Budi Pekerti. Tantangannya adalah budaya hedonisme yang sudah semakin mewabah, permissivitas di segala aspek kehidupan, dekadensi moral di semua kalangan, dan kebanyakan parameter statistik di level Internasional masih menempatkan Indonesia pada kedudukan juru kunci, sejajar dengan negara-negara kecil dan miskin. Persoalan-persoalan ini perlu dicarikan jalan keluar yang sinergis, akseleratif dan solutif.
Program kesembilan adalah memberikan perhatian yang tinggi kepada pendidikan yang berbasiskan peningkatan IPTEKS.  Sebenarnya ini efek dari kedelapan program di atas. Bilamana keseluruhan program pendidikan dapat dikawal dengan baik, didukung semua lapisan masyarakat dan dikontrol melalui sistem yang representatif, maka peningkatan IPTEKS adalah sebuah keniscayaan. Tantangan-tantangan dari setiap program perlu mendapatkan repson yang bijak, dengan melihat akar masalah dan kondisi wilayah. Rentang kendali yang sangat luas dari Sabang sampai Merauke menuntut pemerintah harus berpikir mozaik dan tidak general, tetapi tetap komprehensif dan proporsional. Keindonesiaan tidak dibangun oleh homogenitas, tetapi justru oleh heterogenitas, pluralisme, dan kebhinekaan, sehingga setiap daerah mempunyai karakteristik yang khas dan berbeda dengan yang lain, yang harus dibingkai dengan keputusan yang bijak, adil dan merata.  Dengan demikian masyarakat akan merasakan perubahan yang signifikan dari hasil pendidikan yang berkualitas, yang lambat laun akan mengubah peradaban Indonesia menjadi lebih maju, unggul dan hebat di masa depan.


*) Dosen Universitas Jember