Senin, 12 Januari 2015

PR Bidang Pendidikan di Pemerintahan Indonesia Hebat

Oleh: Slamet Hariyadi*)

Setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla menjadi pemenang dalam Pilpres 2014-2019, marilah sekarang kita fokus kepada program bidang Pendidikan yang dicanangkan. Mengapa penulis lebih memilih program ini sebagai bagian penting dari program yang lain? karena peradaban suatu bangsa di masa depan ditentukan oleh kualitas sumberdaya manusianya, yang dalam hal ini banyak bergantung pada akses dan kualitas pendidikan.
Ada sembilan program yang dicanangkan dalam lima tahun kedepan. Pertama adalah program Wajib Belajar selama 12 tahun dibiayai negara dan beasiswa bagi mahasiswa di Perguruan Tinggi. Program ini merupakan representasi dari keperdulian pemerintah sesuai amanat UUD 1945 yakni “mencerdaskan kehidupan bangsa”, yang memberikan kesempatan seluruh rakyat untuk mengenyam pendidikan dari hulu hingga hilir. Tantangannya adalah di lapangan program kewajiban belajar belum tentu direspon oleh masyakat, sehingga Angka Putus Sekolah (APS) di Indonesia belum juga tuntas hingga saat ini. Berdasarkan data BPS dari sumber Profil Anak Indonesia, pada tahun 2011, rata-rata nasional APS untuk SD (0,67%), SMP (2,21%), dan SMA (2,32%). Propinsi yang paling tinggi tingkat APS untuk SD adalah Sulawesi Barat (2,37%), SMP di Papua Barat (2,37 %) dan SMA di Sulawesi Tengah (6,58 %). Penyebab putus sekolah antara lain tidak ada biaya (49,5%), bekerja membantu orang tua (9,2%), pernikahan dini (3,1%), tidak bisa calistung (1%) dan karena faktor lain-lain (37,2%) diantaranya kurangnya kesadaran orang tua akan pentingnya pendidikan sebagai investasi masa depan anak dan keadaan geografis yang kurang mendukung. Maka itu sangat strategis sekali program ini dicanangkan sebagai jawaban atas problem APS yang terus ada di setiap periode pemerintahan.
Program kedua yang mendukung program pertama adalah memastikan partisipasi 100% dalam pendidikan SD dan 95% pada SMP. Perlu diketahui bahwa Angka Partisipasi Kasar (APK) tingkat SD (95,4%), SMP (98,1%) dan SMA (78,7%). Artinya selalu ada anak yang tidak melanjutkan sekolah setiap lulus dari satu jenjang. Angka itu makin mengecil pada level Perguruan Tinggi. Ini berarti pemerintah perlu memikirkan support system yang menjamin partisipasi masyarakat untuk menyekolahkan anak tanpa hambatan. Tantangannya adalah kesadaran akan pentingnya melanjutkan sekolah sering terbentur pada ketidakpastian ukuran kesuksesan setelah mereka lulus. Artinya, anak yang sudah sekolah tinggi-tinggi belum tentu mendapatkan pekerjaan yang layak dan sukses. Hal ini  mengindikasikan bahwa sekolah perlu meningkatkan peran terhadap performa anak didik dan merevisi cara mengevaluasi agar semua kompetensi diri siswa dapat direkam secara komprehensif, sehingga pribadi utuh dari seorang anak didik dapat dikenali gurunya dan dapat disesuaikan dengan pola belajarnya.  Dengan begitu sekolah menjadi sangat berarti bagi pengembangan diri anak untuk bekal hidup di masa depannya. Masyarakat tanpa disuruh akan mendatangi sekolah dan mendukung partisipasi dalam kegiatan belajar anak sampai tuntas.
Sistem pendukung lain yang akan memback-up program kedua ini adalah diwujudkannya penerbitan Kartu Indonesia Pintar sebagai program ketiga untuk membantu biaya operasional pendidikan siswa di sekolah. Menilik dari kartu serupa yang pernah diterbitkan untuk warga DKI Jakarta, tiap bulan siswa/siswi kurang mampu akan diberikan bantuan pendidikan Rp 240.000,00 (SMA), Rp 210.000,00 (SMP), dan Rp 180.000,00 (SD). Besaran ini mungkin akan disesuaikan dengan kondisi daerah dan index kemahalan masing-masing propinsi. Tantangan dari program ini antara lain validitas data anak kurang mampu, besaran varian dana tiap wilayah di seluruh Indonesia dan keterjaminan tidak ada potongan ilegal diluar ketentuan. Membandingkan dengan program Bidik Misi untuk Mahasiswa, tidak mudah untuk menentukan status sebuah keluarga kurang mampu, karena tidak hanya berdasarkan income, tetapi juga tanggungan yang terbeban pada keluarga tersebut. Jangan sampai program ini justru membuka peluang penyimpangan data, dimana anak yang cukup mampu justru mendapatkan bantuan sedang yang tidak mampu malah terabaikan. Kejujuran dari perangkat desa untuk memberikan surat keterangan sangat dibutuhkan, dan masyarakat sebagai pengawal dari program ini harus perduli bila ada penyimpangan data. Hal ini demi ketepatan sasaran dan keberhasilan program.
Setelah pintu akses dan jaminan sekolah diberikan, program keempat adalah meningkatkan pelatihan guru dan memastikan ketersediaan guru di daerah tertinggal. Guru dan siswa bagai dua sisi mata uang yang saling sinergis untuk menghasilkan kualitas pendidikan yang diharapkan. Guru harus menjadi sumber inspirasi, sumber motivasi dan sumber performansi di sekolah. Guru harus dapat menjadi fasilitator dalam pembelajaran, model bagi perilaku siswa dan tauladan dalam interaksi sosialnya. Guru harus memiliki empat kompetensi wajib yakni Kompetensi Profesional, Kompetensi Paedagogik, Kompetensi Sosial dan Kompetensi Kepribadian. Dengan demikian pelatihan guru sangat urgent untuk dapat membentuk pengetahuan, sikap dan ketrampilan guru sesuai amanat di atas. Juga dalam pelatihan  tidak sekedar meningkatkan kompetensi kognitifnya, tetapi juga sisi kepribadiannya sebagai seorang pendidik layaknya resi di kisah Mahabarata. Disamping itu ketersediaan guru yang terbatas dan tidak merata perlu mendapat perhatian tersendiri, karena menyebabkan sekolah-sekolah di daerah terpencil dan tertinggal hanya menjadi lembaga pendidikan minim karya. Ada 183 Kabupaten yang dinyatakan sebagai daerah tertinggal, dimana 70% berada di Kawasan Indonesia Timur. Melalui kerja sama dengan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, program pemerataan guru dapat berjalan dengan baik. Tantangan dari program ini adalah kesulitan mendapatkan guru yang sukarela ditempatkan di wilayah tersebut. Kebanyakan guru berusaha untuk minta pindah ke kota dan meninggalkan tempat terpencil walaupun dalam surat pernyataan sebagai guru bersedia ditempatkan di seluruh wilayah negara kesatuan Republik Indonesia. Maka itu pemerintah berkewajiban untuk mengembangkan wilayah tertinggal menjadi daerah yang cukup layak sebagai sebuah desa atau kota dan mengoptimalkan kekayaan bumi untuk diolah ditempat sendiri. Dengan begitu masyarakatnya tidak perlu eksodus ke daerah lain untuk mendapatkan penghidupan yang layak dan guru-gurunyapun sudi untuk bertempat tinggal di daerah tersebut. Sebagai jembatan dalam pemenuhan progam ini, sementara bisa memanfaatkan program yang dicetuskan oleh Anies Baswedan yakni Indonesia Mengajar di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM-3T).
 Program kelima yakni memberikan jaminan hidup untuk para guru secara berkualitas dan merata. Pernyataan ini bisa mengindikasikan bahwa Tunjangan Profesi Pendidik (TPP) tidak akan dihapus, bahkan perlu mempertimbangkan sistem penggajian berbasis kinerja dan keunikan wilayah untuk kesejahteraan yang berkualitas. Guru dengan produktivitas tinggi diberikan insentif yang berbeda dengan guru standar rata-rata. Reward diberikan berbasis pada karya yang dihasilkan guru berorientasi pada peningkatan kompetensi siswanya dan karya monumental yang memberikan efek domino baik bagi diri guru, teman sejawat dan lingkungan pendidikan yang lebih luas. Sedangkan keunikan wilayah dinilai berdasarkan kesulitan akses seperti wilayah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal) dan index kemahalan kota (Megapolitan, Metropolitan, Kota Besar, Kota Sedang dan Kota Kecil). Dengan begitu kesejahteraan guru tidak hanya berkualitas dan merata, tetapi juga berkeadilan.
Program keenam adalah mengevaluasi sistem pendidikan nasional termasuk Ujian Nasional (UN). Pengertian evaluasi menyangkut banyak aspek dari penilaian sistem yang telah dijalankan selama ini, termasuk masalah input, process, enviromental, output dan outcome. Bila mengacu pada Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, berarti juga mengevaluasi delapan standar yakni Standar Pengelolaan, Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Standar Sarana Prasarana, Standar Pembiayaan, Standar Proses, Standar Isi, Standar Penilaian dan Standar Kompetensi Lulusan. Menyangkut point yang terakhir, UN akan masuk evaluasi. Evaluasi sistem harus tetap mengacu pada target untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.Tantangannya adalah variabilitas profil lembaga pendidikan yang sangat beragam dari semua jenjang pendidikan, jenis pendidikan, kualitas lembaga pendidikan. Kendala lain  antara lain kemampuan guru dalam menjalankan keempat kompetensi, terbatasnya media dan peralatan pembelajaran yang minim, tidak adanya laboratorium dan perpustakaan, sumber belajar yang tidak layak, jumlah siswa yang terlalu banyak dalam satu kelas atau terlalu sedikit dalam satu sekolah, dsb. Untuk itu memerlukan effort yang sangat besar dari pemerintah dalam bentuk support system yang handal, masif, masal dan terkontrol.
Rupanya program keenam berlanjut dengan program ketujuh yakni perbaikan atau menata kurikulum pendidikan dengan menonjolkan pendidikan kewarganegaraan. Berharap sekali program ini tidak dalam pengertian mengganti kurikulum mengingat baru saja diterapkan Kurikulum 2013 (K-13), dimana sosialisasi, pelatihan, induksi awal, penyusunan perangkat baru saja dijalankan dari tahun alu. Selayaknya suatu kurikulum diterapkan minimal 10 tahun untuk dinilai efektivitas dan relevansinya dengan perkembangan masyarakat terkini. Hal yang dibutuhkan pada pemerintahan lima tahun ini justru dukungan terhadap pelaksanaan K-13 supaya guru tidak terus diombang-ambingkan dengan kebijakan baru, fokus dengan prestasi siswa dan komitmen untuk melaksanakan pembelajaran dengan terampil dan berhasil. Penataan dan perbaikan kurikulum juga hendaknya lebih ke arah konsistensi implementasi sesuai tujuan, sasaran dan target kurikulum, penyesuaian content sesuai perkembangan zaman, tidak mengabaikan character building dan semangat nasionalisme keindonesiaan, serta yang terpenting adalah tetap teguh mengajarkan doktrin keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Program kedelapan adalah inti dari kampanye yang sering disampaikan Capres Indonesia Hebat, yakni Revolusi Mental. Untuk bidang pendidikan fokus 70% pada pendidikan Budi Pekerti dan 30% pada pengetahuan umum di tingkat pendidikan dasar. Ini sangat sinergis dengan K-13 yang memprioritaskan target pembelajaran pada Kompetensi Inti Sikap Spritual dan Sikap Sosial. Memang persoalan Budi Pekerti sudah sangat kritis bagi bangsa ini. Kesadaran (Awarness) terhadap suatu nilai menjadi barang langka, karena penyimpangan, kesalahan, dan kriminalitas yang terjadi bukan karena ketiadaan pengetahuan akan obyek yang menjadi penyebab, tetapi lebih karena kesadaran akan pengetahuan itu yang diabaikan. Seseorang yang paham aturan pajak malah melanggar pajak, pejabat yang paham hukum justru mempermainkan hukum, person yang paham agama malah terjerat oleh persoalan agama. Inilah tantangan besar dari revolusi mental untuk mengedepankan kesadaran di atas pengetahuan melalui pendidikan Budi Pekerti. Tantangannya adalah budaya hedonisme yang sudah semakin mewabah, permissivitas di segala aspek kehidupan, dekadensi moral di semua kalangan, dan kebanyakan parameter statistik di level Internasional masih menempatkan Indonesia pada kedudukan juru kunci, sejajar dengan negara-negara kecil dan miskin. Persoalan-persoalan ini perlu dicarikan jalan keluar yang sinergis, akseleratif dan solutif.
Program kesembilan adalah memberikan perhatian yang tinggi kepada pendidikan yang berbasiskan peningkatan IPTEKS.  Sebenarnya ini efek dari kedelapan program di atas. Bilamana keseluruhan program pendidikan dapat dikawal dengan baik, didukung semua lapisan masyarakat dan dikontrol melalui sistem yang representatif, maka peningkatan IPTEKS adalah sebuah keniscayaan. Tantangan-tantangan dari setiap program perlu mendapatkan repson yang bijak, dengan melihat akar masalah dan kondisi wilayah. Rentang kendali yang sangat luas dari Sabang sampai Merauke menuntut pemerintah harus berpikir mozaik dan tidak general, tetapi tetap komprehensif dan proporsional. Keindonesiaan tidak dibangun oleh homogenitas, tetapi justru oleh heterogenitas, pluralisme, dan kebhinekaan, sehingga setiap daerah mempunyai karakteristik yang khas dan berbeda dengan yang lain, yang harus dibingkai dengan keputusan yang bijak, adil dan merata.  Dengan demikian masyarakat akan merasakan perubahan yang signifikan dari hasil pendidikan yang berkualitas, yang lambat laun akan mengubah peradaban Indonesia menjadi lebih maju, unggul dan hebat di masa depan.


*) Dosen Universitas Jember

Tidak ada komentar:

Posting Komentar