Oleh: Slamet Hariyadi*)
Setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU)
menetapkan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla menjadi pemenang dalam Pilpres
2014-2019, marilah sekarang kita fokus kepada program bidang Pendidikan yang
dicanangkan. Mengapa penulis lebih memilih program ini sebagai bagian penting
dari program yang lain? karena peradaban suatu bangsa di masa depan ditentukan
oleh kualitas sumberdaya manusianya, yang dalam hal ini banyak bergantung pada
akses dan kualitas pendidikan.
Ada sembilan program yang
dicanangkan dalam lima tahun kedepan. Pertama adalah program Wajib Belajar
selama 12 tahun dibiayai negara dan beasiswa bagi mahasiswa di Perguruan
Tinggi. Program ini merupakan representasi dari keperdulian pemerintah sesuai
amanat UUD 1945 yakni “mencerdaskan kehidupan bangsa”, yang memberikan
kesempatan seluruh rakyat untuk mengenyam pendidikan dari hulu hingga hilir. Tantangannya
adalah di lapangan program kewajiban belajar belum tentu direspon oleh
masyakat, sehingga Angka Putus Sekolah (APS) di Indonesia belum juga tuntas
hingga saat ini. Berdasarkan data BPS
dari sumber Profil Anak Indonesia, pada tahun 2011, rata-rata nasional APS
untuk SD (0,67%), SMP (2,21%), dan SMA (2,32%). Propinsi yang paling tinggi
tingkat APS untuk SD adalah Sulawesi Barat (2,37%), SMP di Papua Barat (2,37 %)
dan SMA di Sulawesi Tengah (6,58 %). Penyebab putus sekolah antara lain tidak ada biaya
(49,5%), bekerja membantu orang tua (9,2%), pernikahan dini (3,1%), tidak bisa
calistung (1%) dan karena faktor lain-lain (37,2%) diantaranya kurangnya kesadaran orang tua akan pentingnya
pendidikan sebagai investasi masa depan anak dan keadaan geografis yang kurang mendukung. Maka itu sangat
strategis sekali program ini dicanangkan sebagai jawaban atas problem APS yang
terus ada di setiap periode pemerintahan.
Program kedua yang mendukung program
pertama adalah memastikan partisipasi 100% dalam pendidikan SD dan 95% pada SMP.
Perlu diketahui bahwa Angka Partisipasi Kasar (APK) tingkat SD (95,4%), SMP
(98,1%) dan SMA (78,7%). Artinya selalu ada anak yang tidak melanjutkan sekolah
setiap lulus dari satu jenjang. Angka itu makin mengecil pada level Perguruan
Tinggi. Ini berarti pemerintah perlu memikirkan support system yang menjamin partisipasi masyarakat untuk
menyekolahkan anak tanpa hambatan. Tantangannya adalah kesadaran akan
pentingnya melanjutkan sekolah sering terbentur pada ketidakpastian ukuran
kesuksesan setelah mereka lulus. Artinya, anak yang sudah sekolah tinggi-tinggi
belum tentu mendapatkan pekerjaan yang layak dan sukses. Hal ini mengindikasikan bahwa sekolah perlu
meningkatkan peran terhadap performa anak didik dan merevisi cara mengevaluasi
agar semua kompetensi diri siswa dapat direkam secara komprehensif, sehingga
pribadi utuh dari seorang anak didik dapat dikenali gurunya dan dapat
disesuaikan dengan pola belajarnya. Dengan
begitu sekolah menjadi sangat berarti bagi pengembangan diri anak untuk bekal
hidup di masa depannya. Masyarakat tanpa disuruh akan mendatangi sekolah dan
mendukung partisipasi dalam kegiatan belajar anak sampai tuntas.
Sistem pendukung lain yang akan memback-up program kedua ini adalah
diwujudkannya penerbitan Kartu Indonesia Pintar sebagai program ketiga untuk
membantu biaya operasional pendidikan siswa di sekolah. Menilik dari kartu
serupa yang pernah diterbitkan untuk warga DKI Jakarta, tiap bulan siswa/siswi kurang mampu akan diberikan
bantuan pendidikan Rp 240.000,00 (SMA), Rp 210.000,00 (SMP), dan Rp 180.000,00 (SD). Besaran ini mungkin akan disesuaikan
dengan kondisi daerah dan index kemahalan masing-masing propinsi. Tantangan
dari program ini antara lain validitas data anak kurang mampu, besaran varian
dana tiap wilayah di seluruh Indonesia dan keterjaminan tidak ada potongan
ilegal diluar ketentuan. Membandingkan dengan program Bidik Misi untuk
Mahasiswa, tidak mudah untuk menentukan status sebuah keluarga kurang mampu,
karena tidak hanya berdasarkan income,
tetapi juga tanggungan yang terbeban pada keluarga tersebut. Jangan sampai
program ini justru membuka peluang penyimpangan data, dimana anak yang cukup
mampu justru mendapatkan bantuan sedang yang tidak mampu malah terabaikan. Kejujuran
dari perangkat desa untuk memberikan surat keterangan sangat dibutuhkan, dan
masyarakat sebagai pengawal dari program ini harus perduli bila ada
penyimpangan data. Hal ini demi ketepatan sasaran dan keberhasilan program.
Setelah
pintu akses dan jaminan sekolah diberikan, program keempat adalah meningkatkan pelatihan guru dan memastikan ketersediaan
guru di daerah tertinggal. Guru dan siswa bagai dua sisi mata uang yang saling
sinergis untuk menghasilkan kualitas pendidikan yang diharapkan. Guru harus
menjadi sumber inspirasi, sumber motivasi dan sumber performansi di sekolah.
Guru harus dapat menjadi fasilitator dalam pembelajaran, model bagi perilaku
siswa dan tauladan dalam interaksi sosialnya. Guru harus memiliki empat
kompetensi wajib yakni Kompetensi Profesional, Kompetensi Paedagogik,
Kompetensi Sosial dan Kompetensi Kepribadian. Dengan demikian pelatihan guru sangat
urgent untuk dapat membentuk pengetahuan, sikap dan ketrampilan guru sesuai
amanat di atas. Juga dalam pelatihan tidak
sekedar meningkatkan kompetensi kognitifnya, tetapi juga sisi kepribadiannya
sebagai seorang pendidik layaknya resi di kisah Mahabarata. Disamping itu
ketersediaan guru yang terbatas dan tidak merata perlu mendapat perhatian
tersendiri, karena menyebabkan sekolah-sekolah di daerah terpencil dan
tertinggal hanya menjadi lembaga pendidikan minim karya. Ada 183 Kabupaten yang
dinyatakan sebagai daerah tertinggal, dimana 70% berada di Kawasan Indonesia
Timur. Melalui kerja sama dengan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal,
program pemerataan guru dapat berjalan dengan baik. Tantangan dari program ini
adalah kesulitan mendapatkan guru yang sukarela ditempatkan di wilayah
tersebut. Kebanyakan guru berusaha untuk minta pindah ke kota dan meninggalkan
tempat terpencil walaupun dalam surat pernyataan sebagai guru bersedia
ditempatkan di seluruh wilayah negara kesatuan Republik Indonesia. Maka itu
pemerintah berkewajiban untuk mengembangkan wilayah tertinggal menjadi daerah
yang cukup layak sebagai sebuah desa atau kota dan mengoptimalkan kekayaan bumi
untuk diolah ditempat sendiri. Dengan begitu masyarakatnya tidak perlu eksodus
ke daerah lain untuk mendapatkan penghidupan yang layak dan guru-gurunyapun
sudi untuk bertempat tinggal di daerah tersebut. Sebagai jembatan dalam
pemenuhan progam ini, sementara bisa memanfaatkan program yang dicetuskan oleh
Anies Baswedan yakni Indonesia Mengajar di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM-3T).
Program kelima yakni memberikan jaminan hidup
untuk para guru secara berkualitas dan merata. Pernyataan ini bisa mengindikasikan
bahwa Tunjangan Profesi Pendidik (TPP) tidak akan dihapus, bahkan perlu
mempertimbangkan sistem penggajian berbasis kinerja dan keunikan wilayah untuk
kesejahteraan yang berkualitas. Guru dengan produktivitas tinggi diberikan
insentif yang berbeda dengan guru standar rata-rata. Reward diberikan berbasis pada karya yang dihasilkan guru
berorientasi pada peningkatan kompetensi siswanya dan karya monumental yang
memberikan efek domino baik bagi diri guru, teman sejawat dan lingkungan
pendidikan yang lebih luas. Sedangkan keunikan wilayah dinilai berdasarkan
kesulitan akses seperti wilayah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal) dan index
kemahalan kota (Megapolitan, Metropolitan, Kota Besar, Kota Sedang dan Kota
Kecil). Dengan begitu kesejahteraan guru tidak hanya berkualitas dan merata,
tetapi juga berkeadilan.
Program keenam adalah mengevaluasi
sistem pendidikan nasional termasuk Ujian Nasional (UN). Pengertian evaluasi
menyangkut banyak aspek dari penilaian sistem yang telah dijalankan selama ini,
termasuk masalah input, process,
enviromental, output dan outcome.
Bila mengacu pada Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, berarti juga mengevaluasi
delapan standar yakni Standar Pengelolaan, Standar Pendidik dan
Tenaga Kependidikan,
Standar Sarana Prasarana,
Standar Pembiayaan,
Standar Proses,
Standar Isi,
Standar Penilaian dan Standar Kompetensi Lulusan. Menyangkut point yang terakhir, UN akan masuk evaluasi. Evaluasi
sistem harus tetap mengacu pada target untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, yang bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab.Tantangannya adalah variabilitas profil lembaga pendidikan yang sangat
beragam dari semua jenjang pendidikan, jenis pendidikan, kualitas lembaga
pendidikan. Kendala lain antara lain
kemampuan guru dalam menjalankan keempat kompetensi, terbatasnya media dan
peralatan pembelajaran yang minim, tidak adanya laboratorium dan perpustakaan,
sumber belajar yang tidak layak, jumlah siswa yang terlalu banyak dalam satu
kelas atau terlalu sedikit dalam satu sekolah, dsb. Untuk itu memerlukan effort yang sangat besar dari pemerintah
dalam bentuk support system yang
handal, masif, masal dan terkontrol.
Rupanya program keenam berlanjut
dengan program ketujuh yakni perbaikan
atau menata kurikulum pendidikan dengan menonjolkan pendidikan kewarganegaraan.
Berharap sekali program ini tidak dalam pengertian mengganti kurikulum mengingat
baru saja diterapkan Kurikulum 2013 (K-13), dimana sosialisasi, pelatihan,
induksi awal, penyusunan perangkat baru saja dijalankan dari tahun alu. Selayaknya
suatu kurikulum diterapkan minimal 10 tahun untuk dinilai efektivitas dan
relevansinya dengan perkembangan masyarakat terkini. Hal yang dibutuhkan pada
pemerintahan lima tahun ini justru dukungan terhadap pelaksanaan K-13 supaya
guru tidak terus diombang-ambingkan dengan kebijakan baru, fokus dengan
prestasi siswa dan komitmen untuk melaksanakan pembelajaran dengan terampil dan
berhasil. Penataan dan perbaikan kurikulum juga hendaknya lebih ke arah
konsistensi implementasi sesuai tujuan, sasaran dan target kurikulum,
penyesuaian content sesuai
perkembangan zaman, tidak mengabaikan character
building dan semangat nasionalisme keindonesiaan, serta yang terpenting
adalah tetap teguh mengajarkan doktrin keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Program kedelapan adalah inti dari
kampanye yang sering disampaikan Capres Indonesia Hebat, yakni Revolusi Mental.
Untuk bidang pendidikan fokus 70% pada pendidikan Budi Pekerti dan 30% pada
pengetahuan umum di tingkat pendidikan dasar. Ini sangat sinergis dengan K-13
yang memprioritaskan target pembelajaran pada Kompetensi Inti Sikap Spritual
dan Sikap Sosial. Memang persoalan Budi Pekerti sudah sangat kritis bagi bangsa
ini. Kesadaran (Awarness) terhadap
suatu nilai menjadi barang langka, karena penyimpangan, kesalahan, dan kriminalitas
yang terjadi bukan karena ketiadaan pengetahuan akan obyek yang menjadi
penyebab, tetapi lebih karena kesadaran akan pengetahuan itu yang diabaikan.
Seseorang yang paham aturan pajak malah melanggar pajak, pejabat yang paham
hukum justru mempermainkan hukum, person yang paham agama malah terjerat oleh
persoalan agama. Inilah tantangan besar dari revolusi mental untuk
mengedepankan kesadaran di atas pengetahuan melalui pendidikan Budi Pekerti. Tantangannya
adalah budaya hedonisme yang sudah semakin mewabah, permissivitas di segala
aspek kehidupan, dekadensi moral di semua kalangan, dan kebanyakan parameter
statistik di level Internasional masih menempatkan Indonesia pada kedudukan
juru kunci, sejajar dengan negara-negara kecil dan miskin. Persoalan-persoalan
ini perlu dicarikan jalan keluar yang sinergis, akseleratif dan solutif.
Program kesembilan adalah memberikan
perhatian yang tinggi kepada pendidikan yang berbasiskan peningkatan IPTEKS. Sebenarnya ini efek dari kedelapan program di
atas. Bilamana keseluruhan program pendidikan dapat dikawal dengan baik,
didukung semua lapisan masyarakat dan dikontrol melalui sistem yang
representatif, maka peningkatan IPTEKS adalah sebuah keniscayaan.
Tantangan-tantangan dari setiap program perlu mendapatkan repson yang bijak,
dengan melihat akar masalah dan kondisi wilayah. Rentang kendali yang sangat luas
dari Sabang sampai Merauke menuntut pemerintah harus berpikir mozaik dan tidak
general, tetapi tetap komprehensif dan proporsional. Keindonesiaan tidak
dibangun oleh homogenitas, tetapi justru oleh heterogenitas, pluralisme, dan
kebhinekaan, sehingga setiap daerah mempunyai karakteristik yang khas dan
berbeda dengan yang lain, yang harus dibingkai dengan keputusan yang bijak,
adil dan merata. Dengan demikian
masyarakat akan merasakan perubahan yang signifikan dari hasil pendidikan yang
berkualitas, yang lambat laun akan mengubah peradaban Indonesia menjadi lebih maju,
unggul dan hebat di masa depan.
*) Dosen
Universitas Jember
Tidak ada komentar:
Posting Komentar