Senin, 21 November 2011

Mengapa Indonesia (selalu) kalah dengan Malaysia

Gegap gempita Sea Games XXVI tahun 2011 di Palembang-Jakarta baru saja berakhir. Indonesia keluar sebagai juara pada pergelaran olahraga yang diikuti oleh negara-negara asia tenggara. Tapi, stadion Gelora Bung Karno justru menjadi saksi bisu kekecewaan masyarakat Indonesia ditengah kebahagiaan menjadi juara umum (182 medali emas, 151 perak, 142 perunggu), karena sepakbola Indonesia bertekuk lutut terhadap Malaysia dengan kedudukan 3-4 (1-1) dari drama adu pinalti pada final yang ditonton hampir semua masyarakat di tanah air. Banyak air mata menetes pilu, tak sedikit kepala tertunduk lesu, helaan nafas panjang yang tak menentu. Rasanya rasa kebangsaan kita menjadi haru-biru dihadapan sang tuan: Malaysia. Lebih memilukan lagi saat bendera dan lagu kebangsaan Malaysia berkumandang.....justru di tanah air Indonesia, bukan merah putih dan bukan Indonesia Raya. Mengapa Indonesia selalu kalah hati, setelah sebelumnya juga sudah kalah 0-1 terhadap Malaysia pada babak kualifikasi Group. Kekalahan ini menggenapkan peristiwa setahun yang lalu di Piala AFF 2010, dimana Indonesia harus memungut bola 3 kali (0-3) di negara Malaysia dan saat di Indonesia memang menang 2-1, tetapi kalah agregat (jumlah goal: 2-4).

Indonesia, hampir selalu mengalah atau kalah, dalam beberapa versus berhadapan dengan Malaysia. Persoalan batas negara, permasalahan Tenaga Kerja Indonesia, apalagi karya-karya seni Indonesia yang pernah diklaim, menjadi daftar panjang keterpurukan mental Indonesia terhadap negara Jiran tersebut. Padahal dari sudut geografis dan jumlah penduduk, Indonesia lebih besar. Dari sudut sejarah, Indonesia lebih dahulu maju dan berkembang (Malaysia pernah mengimpor guru dari Indonesia). Dari sudut kekayaan budaya dan prestasi seni, Indonesia lebih diperhitungkan di mata dunia. Lalu kurang apa Indonesia kita ....?

MENTAL !. Indonesia kalah hati terhadap Malaysia. Saya khawatir kita sudah mulai bergerak menjadi Negara Budak (Slave Nation). Apakah trace kita sebagai negara terjajah demikian terpatri kuat sampai berpuluh-puluh generasi. Mana mental Majapahit dulu yang pernah menundukkan hampir seluruh jazirah Asia. Mana mental Sriwijaya yang mampu menaklukkan ganasnya lautan samudera. Kemana hilangnya mental juara itu, mental baja, mental pemenang...... mengapa pemain kita yang sanggup menahan 1-1 Malaysia di pertandingan 2 X 45 menit sampai perpanjangan 2 X 30 menit, tiba-tiba tidak percaya diri saat 5 X adu pinalti. Bukankah hal itu sudah merupakan bagian rule dari permainan sepak bola. Bahkan mereka harusnya juga siap saat nantinya berlanjut ke ‘sudden dead’. Pelatih Timnas Rahmad Dharmawan mengakui timnya kalah mental dari lawannya tersebut. Sebelum drama adu penalti, ia menyatakan hanya tiga pemainnya yang siap untuk menendang penalti sehingga harus memberi suntikan moral agar pemain lainnya mau melaksanakan tugas penting itu. "Kita sudah siapkan adu penalti dalam latihan, tapi memang belum tentu mereka memang siap di pertandingan besar. Dari lima penendang tadi, yang siap sebetulnya cuma tiga pemain," ungkapnya. Pertanyaan berikutnya apakah mungkin para pemain sepakbola kita secara langsung maupun tidak langsung bersinggungan dengan negara Malaysia. Dalam arti kata, keluarga atau saudara-saudara mereka memang banyak mencari nafkah, mengais rezeki dan menggantungkan hidupnya di negara Malaysia, sehingga tanpa sadar telah mengubah mental mereka menjadi budak yang punya rasa takut atau sungkan dengan ‘tuan’nya. Atau rasa kebangsaan kita telah terkikis sedikit demi sedikit oleh dominansi Malaysia dari kemenangan beberapa kasus-kasus seperti tersebut di atas. Dus dengan demikian Malaysia seperti telah tumbuh menjadi ‘juragan’ bagi hati orang Indonesia, yang merupakan lanjutan dari insting ‘budak’ orang pribumi terhadap negara-negara asing lainnya. Kalau sudah demikian, sampai kapan kita menunggu bangsa ini menjadi ‘tuan’ di negaranya sendiri ?

Mental, sekarang perlu menjadi perhatian utama. Bagaimanapun training center dilakukan, keterampilan permainan dipupuk, konsentrasi difokuskan pada strategi permainan tapi bila mental-mentalnya tidak dipersiapkan dengan tangguh, maka semua permainan hanya mengandalkan untung-untungan semata, selalu berkilah dibalik ‘dewi fortuna’. Coba bandingkan dengan peristiwa di MotoGP seri penutupan akhir tahun 2011 dimana Casey Stoner berlaga di motor 800 cc dan di putaran-putaran akhir berada di posisi dua di belakang Andrea Dovisioso. Tetapi mental juara yang terpatri telah menyebabkan Stoner terus berjuang sampai titik darah penghabisan. Didetik-detik terakhir saat belokan finish, ban depan Stoner menyentuh lebih cepat hanya beberapa centimeter di depan Dovisioso. Padahal bilapun Stoner kalah, dia akan tetap menjadi Juara Dunia 2011. Namun persoalan mental telah menjadi pemacu dan pemicu yang memelihara hati tetap tangguh dan pantang menyerah, karena bagaimanapun berdiri di podium nomer 1 merupakan pupuk paling mujarab untuk meraih kemenangan-kemenangan berikutnya.Sebagai bangsa yang besar, luas dan beragam persoalan mental harus mulai dipikirkan kembali sebagai bagian penting melalui ranah pendidikan. Mental kita perlu direparasi habis-habisan, mulai dari diri kita, mulai dari hal-hal yang kecil dan mulai dari .......sekarang juga !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar